“Tarik nafas dalam-dalam, ku hembuskan
perlahan. Aku hanya bisa terdiam, terpana dan terpaku. Langkahku terhenti di
persimpangan jalan, memberiku kegalauan untuk terus melangkah maju. Hanya
terfikirkan olehku untuk melangkah mundur. Namun hatiku selalu meminta untuk
mencari jalan pintas. Hanya saja, tak satu simpanganpun terlintas di
benakku.......”
Seorang
gadis terlihat tengah menuliskan segala amarahnya pada sebuah buku kecil
berwarna pink bergambar hello kitty di sampulnya. Di atas batu karang, di
pesisir pantai dengan ombak yang berderu kencang, gadis itu menatap langit.
Melihat ke atas sejenak lalu memejamkan matanya begitu lama.
Nayla,
seorang gadis cantik dengan tubuh hampir perfect.
Badannya cukup berisi, tingginya kurang lebih 150 cm. Terbilang rata-rata,
tidak terlalu tinggi dan tidak pendek pula. Wajahnya bulat. Matannya cekung
agak sipit dan hidungnya agak pesek.
Pipi tembamnya memperlihatkan wajahnya yang imut dan lucu. Kulit yang sawo
matang membuatnya tampak manis. Rambutnya yang tergerai bergerak menari-nari
terbawa angin darat. Membuat dia merasakan seolah dia ikut terbang bersama
angin. Dalam pejaman matanya, dia memikirkan seuatu.
***
Oktober, 2008. Musim penghujan mulai
datang. Awan mendung sudah tak mampu menahan beban air yang ditampungnnya.
Hujan deras datang tanpa toleransi. Langit tampak begitu kelam tanpa kehadiran
sinar mentari karena tertutup gumpalan awan hitam. Suasana siang hari
yang tadinya nampak cerah, kini berubah menjadi hampir suram.
Di sebuah desa kecil yang tak jauh dari
jalan besar, terlihat seorang gadis dengan pita merah mengikat sebagiann
rambutnnya sedang mengayuh sepeda. Dari
arah utara, dia melaju kencang. Tangan kanannya memegang stang sepedanya yang berwarna pink tua.
Sedang tangan kirinya memegang tas plastik hitam yang didekap di badannya,
menjagannya supaya tak basah terkena tetesan hujan. Tapi apa daya, tangannya
tak mampu menahan tetesan air yang datang kroyokan untuk membasahi tas plastik
hitam itu. Bajunya pun sudah terlanjur basah.
Tak jauh setelah dia melaju kencang
dengan sepedanya, dia berhenti di depan sebuah proyek rumah separuh jadi. Fondasi rumah itu sudah
terpetak-petak, menunjukkan pembagian ruangan pada rumah itu. Tembok batanya
masih belum sempurna, hanya sebagian tempat yang sudah terbentang tinggi. Di pojok dari tembok bata rumah belum sempurna ini, ada lima orang pria sedang
meneduh di bawah terpal berwarna oranye yang dijadikan atap mereka berteduh.
Melihat gadis bersepeda tadi berhenti,
salah seorang pria dari bawah terpal oranye berteriak dengan kencang.“Nayla, sini cepet!
Hujan sudah deres banget lhooo !!!”
“Iya
paak” jawab Nayla belia sambil lari menuju tempat di bawah terpal oranye dengan
membawa plastik hitam tadi.
Sampai
di bawah terpal, dia memberikan plastik hitam yang ternyata berisi makanan
berat untuk para pria tadi. Mereka adalah kuli bangunan yang sedang mengerjakan
rumah itu. Sedang rumah itu adalah rumah milik keluarga Nayla. Orangtua gadis
belia ini sedang dalam proses untuk pindah dari rumah dinas di daerah kota
menuju ke desa kecil ini. Sedangkan Nayla yang pada hari itu sedang libur
sekolah disuruh untuk mengantar makanan ke proyek rumah orang tuanya ini.
“Maaf
pak, nasinya sepertinya agak basah tadi kena air, mbungkus-nya cuma pakai kertas soalnya.”
“Nggak
papa nduk, yang penting dapat jatah makan siang.” Kata salah seorang kuli
sambil membuka bungkusan makanan yang dibawa Nayla tadi.
Dari
tempat Nayla belia duduk bersama lima kuli tadi, terlihat segerombolan anak
laki-laki seumuran belia sedang lari kejar-kejaran di tengah derasnya hujan. Setidaknya
ada enam anak laki-laki yang terlihat dari tempat Nayla belia duduk. Awalnya
dia sama sekali tak menghiraukan mereka. Sampai salah seorang di antara anak
laki-laki tadi-yang entah sengaja atau tidak-melempar bola futsal bercorak belang-belang berwarna putih-merah ke arah proyek
rumah keluarga Nayla.
Anak
laki-laki yang melempar bola tadi langsung lari menuju tengah area proyek rumah
Nayla, tempat bolanya terjatuh dari lemparannya. Pandangan Nayla belia tertuju
pada anak itu. Anak laki-laki yang mengenakan kaos hitam gambar tengkorak
dengan tulisan “Death Code” dan celana selutut bercorak kotak-kotak warna
coklat muda membuat Nayla belia terpaku. Ada
yang salah dari Nayla, dia seakan melihat seorang bidadara yang turun ke
bumi mengambil panah yang terjatuh dari khayangan.
Mata
bocah itu cekung agak lebar, badannya ideal dengan tingginya serasi dengan
bentuk wajahnya yang oval. Rambutnya pendek model spec. Kulitnya kuning langsat dan hidungnya terlihat mancung.
Setidaknya itu yang bisa dilihat Nayla, karena tempat bola jatuh tadi tak jauh
dari tempat Nayla duduk meneduh.
Anak
laki-laki tadi mengambil bola lalu berdiri membersihkan sebagian sisi dari bola
yang kotor terkena tanah di proyek rumah Nayla. Tak lama kemudian, dia menoleh
ke arah Nayla, sambil tersenyum lepas dia menganggukkan kepalanya. Seolah dia
memberi isyarat untuk menyampaikan kata “permisi”-nya.
Nayla
belia membalas senyumnya dengan menganggukkan kepalanya juga. Tapi kali ini
berbeda untuk Nayla belia, dia merasakan sesuatu yang berbeda. Dia seakan
tersipu akan senyum bocah lelaki itu. Nayla ingin memanggilnya, tapi dia tak
kuasa mengeluarkan suaranya untuk sekedar berkata “hey” pada bocah itu.
Tapi
Nayla belia terlalu lama berfikir untuk jadi mengatakan kata “hey” atau tidak.
Hingga akhirnya bocah tadi langsung membalikkan badan dan kembali ke gerombolan
bocah-bocah lelaki tadi setelah memberikan senyum indah yang mengalihkan dunia
Nayla belia sejenak. Dia bingung. Antara dia menyesal, gembira, galau, dan
semua rasa lain bercampur jadi satu. Nayla penasaran, siapa bocah lelaki itu?
Nayla
belia masih terdiam dan terpaku ke arah tempat segerombolan bocah tadi berada. Dia
masih terngiang bayangan bocah lelaki berbaju hitam dengan senyum hangat di
tengah dinginnya hujan. Dia penasaran, dan dia ingin tahu siapa anak itu. Tapi
dia takut untuk melangkahkan kaki mengejar bocah lelaki tadi. Hingga akhirnya
dia tetap duduk di tempat dia berteduh dengan lima kuli tadi sambil
senyum-senyuk kecil karena teringat senyum bocah tadi. Dalam hati kecilnya dia
hanya berkata “Tuhan, aku penasaran siapa dia, aku ingin tahu siapa dia, bila
kau mengizinkanku untuk mengenalnya, maka pertemukanlah aku dengan dia.”
(bersambung.....)
No comments:
Post a Comment