Michael, 19 tahun. Biasa dipanggil Mike oleh temanku. Tapi orang tuaku memanggil Mickey, menurut mereka itu panggilan sayang. Tapi aku geli
mendengarnya.
Aku
pria kelahiran London, UK . aku bagaikan orang yang sangat beruntung. Bayangkan
saja orang tuaku punya kekayaan tujuh turunan. Perusahaan advertising milik daddy-
tercecer di mana-mana di seantero Indonesia. Bahkan ada empat perusahaannya di
Inggris. Mommy adalah orang Indo asli
dari Jakarta. Sedangkan daddy dari
Inggris.
Siang
itu, aku pulang dari kampus. Sudah hampir dua tahun ini aku belajar di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis program Internasional Universitas Gajah Mada. Tapi, aku
masih di semester dua. Lagi-lagi dosen mengancamku. Aku mungkin harus mengulang
semester dua ini lagi, karena batas absenku sudah habis.
Aku
mungkin terlihat seperti orang yang pemalas. Suka menghambur-hamburkan uang,
dan yah…terkesan seperti suka foya-foya. Tapi itu salah. Sama sekali tidak
benar. Selama kuliah di UGM, aku kost di kawasan Pogung Yogyakarta.
Bila
aku sering membolos kuliah, bukan berarti aku anak pemalas. Aku tak pernah menginginkan
kuliah di bidang manajemen atau akuntansi atau apapun yang berbau tentang ini. Itu
semua keinginan orang tuaku, terutama daddy.
Daddy berharap aku bisa menjadi
penerus pengelola perusahaannya yang tercecer di mana-mana. Tapi aku punya
mimpi yang lain.
Aku
selalu menolak dan membantah daddy
bila dalam telepon membicarakan; ‘kamu besok harus menjadi direktur perusahaan daddy’, atau ‘kamu besok harus bisa
memajukan perusahaan daddy’ atau ya …
semua yang berhubungan tentang perusahaan. Hingga suatu hari di sore yang
mendung, daddy dan mommy datang dari Jakarta menghampiri ke
kos ku. Saat itu aku sedang sibuk di depan layar laptop.
“Hello Mickey, kamu sedang apa?
Mengerjakan tugas kuliah kamu?” sapa daddy.
“No, Dad. Aku sedang, em ya main-main games aja,” jawabku agak ragu. Langsung kututup
program office word yang sedang
terbuka. Lalu memulai pembicaraan lagi ,“Kenapa tidak menelpon dulu kalau mau
ke sini? Hmm, you want something to drink?”
“Oh
no. Well, begini Mickey. Dad dan mom ingin bicara serius dengan kamu. Ini
tentang perusahaan kita Mickey. Kamu
harus segera menyelesaikan kuliah kamu. Come
on, son. Ini sudah hampir tahun ketiga kamu masih di semester dua. Kamu seh
…”
“What?” aku menyela daddy. “Perusahaan? Again? No no no no no no, Dad. Jawaban Mike tetap sama. Mike tetap nggak mau ikut campur urusan perusahaan. Mike nggak mau! Kenapa harus selalu Mike yang dipaksa? Kenapa dad nggak Kak Angie aja sih dad, mom? Dia
lebih tahu masalah tentang perusahaan.” Kak Angie
adalah kakak perempuanku. Angelina,
yang sama cantiknya dengan mommy. Dia
selalu ingin ikut terlibat dalam urusan perusahaan. Tapi dad dan mom selalu
menolak.
“No, of course not. Dia ini seorang
wanita. Bahkan mommy tak pernah mau
ikut campur di perusahaan. It’s ashame! Itu
memalukan kalau kakak kamu sampai ikut bekerja di perusahaan. Dia seharusnya
hanya di rumah atau ke salon manicure
pedicure.” Mommy mengelak pendapatku.
“Itu
terserah pada kalian mom, dad. Tapi
jawabanku tetap sama. Asal kalian tahu, Kak Angie
bahkan lebih hebat dibanding aku dalam mencari peluang bisnis. Bukankah kalian
pernah melihat dia melakukan hal baik untuk perusahaan? Dia pernah memenangkan
tender ke Luar Negeri.”
“No, Mike. Kamu ini masih anak-anak. Kamu
masih labil. Daddy tahu, kamu besok
masih bisa berubah pikiran. Lagipula, kamu ini mau jadi apa nantinya? Daddy sudah memberi kemudahan untuk masa
depan kamu.
“Aku punya mimpi. Mimpi yang lebih indah
dibanding berlian semahal apapun di dunia ini. Yang jauh lebih berharga untukku
dibanding segala harta kekayaan yang kumiliki. Dan beginilah caraku menggapai
mimpiku” Jawabku.
Pembicaraanku
dengan mereka masih sama seperti sebelum-sebelumnya. Dad dan Mom menunjukkan
wajah kecewa. Mereka ingin terus membujukku,
tetapi malam itu juga mereka harus pulang, karena Dad harus menyelesaikan urusan bisnisnya.
***
Selang
dua hari, mereka kembali ke kosku. Tapi
tidak dengan tangan hampa. Mereka menaiki mobil sedan Camry 3.5 Q warna silver,
seri tercanggih berplat putih. Ya, mobil baru.
“Mickey, ini Dad belikan mobil baru untuk kamu. Kamu pasti suka. Ini terlihat
elegan sekali bila kamu yang menaikinya.” Kata Dad sambil menyodorkan kunci padaku.
“Yes, Mickey. Ini mom yang memilihkan untuk kamu. Kamu pasti suka. Mom tahu kamu butuh mobil kan, ya di
sini kamu kemana-mana harus naik motor, pasti kepanasan kan?”
“What?” aku kaget dengan jalan pikiran
mereka. Mobil itu terlihat mewah sekali. Mengkilau terkena cahaya. Daddy tersenyum padaku. Lalu berkata,
“Bagaimana Mickey. Kamu suka kan? Ini
pasti akan cocok sekali untuk kamu. Terutama ketika kamu pergi ke kantor dengan
mobil ini, pasti terlihat sangat elegan.”
Aku
yang tadinya sedang mengamati body mobil
Camry terbaru ini tiba-tiba diam. Sekarang aku tahu maksud mereka.
“Aku
tahu arah pembicaraan daddy dan mommy. Aku tahu kalian ingin menyogokku
dengan cara seperti ini. Tapi jawaban Mike
tetap sama. Aku tidak akan mau menjadi direktur perusahaan sampai kapanpun!
Sorry mom, dad. Aku benar-benar tak
bisa.” Aku kembali ke dalam kost-nya. Teman satu kosku bergerombol melihat
mereka dari balik jendela. Mereka terfokus pada mobil Camry silver yang diparkir
di halaman.
Dad masih berusaha membujukku. Mereka kembali ke kosku. Pergi pulang Jakarta – Jogja. Tapi
jawabanku tetap sama. Dalam waktu
satu bulan, mereka lima kali ke kost selalu membawa barang-barang mewah. Bahkan
aku juga dibelikan rumah baru. Tapi
tetap saja jawabannya hanya “tidak”.
Aku
sudah tidak tahan dengan semua ini. Mereka terlalu memaksakan kehendaknya
padaku. Cukup! Aku tak mau mimpiku hilang begitu saja. Hingga akhirnya aku
bertekad pergi dari kosku. Sebelumnya aku menuliskan surat untuk orang tuaku.
Hello Daddy Mommy, maafkan Mickey yang
harus pergi dengan cara seperti ini. Mungkin di fikiran kalian, Mickey adalah
anak yang durhaka. Tak mau mendengarkan nasihat kalian. Sorry Dad, Mom. Aku
benar-benar minta maaf. Tapi ini jalan satu-satunya. Agar kalian tidak memaksakan
aku. Kalian juga harus memikirkan Kak Angie.
Aku mohon Daddy, luangkan waktumu
sedikit untuknya. Aku ingin kalian tidak mengekang dia lagi, dia benar-benar
berminat pada menjadi penerusmu Daddy. Aku yakin, perusahaan Daddy pasti akan
lebih sukses. Please Dad, beri dia kesempatan.
Well, aku juga punya mimpi yang sangat
berharga untukku. Mimpiku sederhana, sangat sederhana. Tapi menurutku, ini
sangat mulia. Aku berani bertanggun jawab atas semua kelakuanku Mom, Dad. Aku
akan kembali. Pada waktunya nanti. Jadi kalian tak perlu mencari. Aku pasti
pulang. Katakan pada Kak Angie untuk tidak mengkhawatirkanku.
Well Daddy, Mommy. Kau ingin tahu apa
mimpiku? You’ll know …
(Your Mickey)
***
Tujuh
tahun berlalu. Di sebuah rumah mewah di Jakarta dengan dinding dari keramik dan
halamannya dari batu marmer, ada seorang Pak Pos yang mengantarkan sebuah
bingkisan. Aku memperhatikan dari kejauhan. Sebuah kardus berukuran sedang yang
dibungkus rapi dengan kertas cokelat. Ukurannya hampir sama dengan ukuran
kertas folio, hanya lebih lebar sedikit.
Seorang
wanita yang sudah cukup dewasa keluar dengan serbet di pundaknya. Dia menerima
bingkisan tersebut. Lalu lari masuk ke dalam rumah.
Aku
hendak masuk ke dalam rumah. Satpam rumah itu tahu siapa aku. Tapi aku member
isyarat padanya untuk diam. Langkahku terhenti di depan pintu, aku mengintip daddy mengambil tumpukan terakhir isi bingkisan
itu dari jendela depan, dad agak
gemetar memegang buku ini. Dad membacanya
agak keras, mungkin agar mom bisa
mendengarnya. Ku dengar dia berkata, “Story
of My Beloved Family, Cerita dari Keluargaku Tercinta oleh Michael Dacey Brandon.” Kulihat Dad membuka lembar demi lembar buku ini. Ia berhenti pada satu
halaman di depan, dan membacanya“Untuk
Daddy, yang selalu memberiku inspirasi dari setiap kata-katanya, dari setiap
perlakuannya padaku, dan dari setiap segala yang diberikan padaku. Untuk Mommy, yang selalu memotivasiku dari
setiap senyumannya, dari setiap tetesan air matanya, dan dari setiap pelukan
hangatnya kepadaku. Untuk Kak Angie,
yang selalu ada untuk membangunkanku ketika aku terjatuh, ketika aku terlelap,
dan ketika aku putus asa.”
Daddy terharu melihat ini. Aku masuk perlahan ke rumahku
dulu. Mereka memandangiku. Aku berjalan perlahan mendekati mereka. Tapi langkahku
terhenti. Aku membalikkan badan. Kak Angie
yang baru pulang dari kantor kini ada di depanku dengan wajah cantiknya.
Kami saling menatap.
Ku
balikkan badan lagi. Kini aku melihat ke arah mom dan dad, lalu
tersenyum pada mereka. Kami hanya tertawa lepas setelahnya.
(04082012)
No comments:
Post a Comment