Langit
begitu cerah. Matahari bersinar dengan terang, awan pun tak berani menutupi
cahayanya. Tetesan embun di daun menandakan sejuknya dunia. Kicauan burung
kenari, simbol kedamaian hidup. Hembusan angin menambah indahnya suasana.
Mataku
hanya terfokus pada satu titik. Pada satu bayangan di mana hanya aku yang mampu
melihat. Imajinasiku mengantarkanku pada masa itu. Masa di mana penderitaan dan
kebahagiaan tercampur aduk menjadi satu. Masa di mana ketentraman menutupi
kesengsaraan. Canda tawa menutupi jerit tangis. Dan senyuman menutupi
kesedihan.
Mereka terlihat bahagia. Senyum senang riang
gembira. Dengan pakaian lusuh yang dikenakan dan celana kumal tiga perempat. Di
sebuah gubug reyot dengan dinding
dari anyaman bambu mereka bersenda gurau. Duduk melingkar beralaskan tikar tua.
Kakek tua renta, tiga lelaki belia dan dua lelaki masih kanak-kanak.
Perkumpulan
itu ternyata untuk menunggu seorang perempuan tua, yang keriput tapi tak mampu
menutupi wajah cantiknya. Ia keluar tidak dengan tangan hampa. Tangan kanannya
membawa sepiring penuh nasi dan tangan kirinya membawa sepiring sayur, ya bisa
dibilang sayur, tapi tak terlihat seperti sayur, lebih mirip semur ayam atau bistik. Sebenarnya itu adalah jantung
pisang yang dimasak hanya direbus dengan kecap.
Para
lelaki langsung ramai, kecuali si pria tua yang hanya tersenyum. Perempuan
paruh baya tadi meletakkan nasi dan semur jantung di tengah-tengah mereka. “Le jupuk nasi aja rebutan yaa!” kata
wanita tua itu. “Siap mak!!!” jawab
para lelaki belia dan adik-adiknya serempak. Siang itu, mereka makan dengan
lahap, walau hanya dengan semur jantung pisang.
Imajinasiku
berganti, aku seakan melihat tayangan televisi yang diubah channel-nya. Aku melihat jalan setapak terbuat dari batu-batu putih
yang runcing. Bila melewatinya dengan kaki telanjang, rasanya pasti cukup
menyakitkan. Beberapa saat kemudian aku sadar. Aku kenal tempat ini, desa yang
selalu aku rindukan semenjak aku meninggalkannya, Desa Tengklik. Dari kejauhan kulihat dua bocah mengenakan seragam SD
berlari kejar-kejaran sambil membawa seikat daun pisang. Bocah itu sama dengan
yang kulihat saat bayangan pertama muncul. Kakak beradik yang paling muda.
Saat
itu matahari hampir membakar tubuh mereka. Namun sepertinya itu tak begitu
berpengaruh bagi mereka. Bahkan kulitnya yang sudah gosong pun mereka
membiarkannya. Saat mendekati sebuah cakruk
di pinggir jalan, mereka melambat. Langkahnya hampir seperti orang jalan
kaki, hanya saja lebih cepat.
“Nanta,
Anggar, mampir le!!” teriak seorang
pria tua di dalam cakruk. “Wah nggak pakde, ini masih harus njual
daun pisang je, soale keburu
penjualnya berangkat” jawab Anggar dengan nada sedikit kecewa. “Besok saja nggih, kalo pas nggak keburu-buru”
lanjut si Nanta dengan lantang. “wo ya
wes, ati-ati yo! ” jawab pria itu.
Mereka
berjalan pergi, aku hanya mengamatinya. Mataku seakan mengirimkan sinyal ke
otakku. Membuatku berfikir sejenak, sepertinya aku kenal mereka, sepertinya
mereka adalah orang yang sangat penting untukku, sepertinya, sepertinya,
sepertinya. Selalu begitu. Sedetik kemudian, aku menemukannya, aku rasa aku tau
banyak seluk beluk kehidupan mereka.
Menjual
daun pisang. Ya, itulah kehidupan sehari-hari mereka. Setiap pulang sekolah
harus menjual daun pisang ke pasar, atau ke rumah tetangga. Orang tuanya yang
hanya petani padi ini setiap hari bekerja keras mencari uang. Walau kedua orang
tua ini buta huruf, tapi tak melunturkan tekad mereka untuk menyekolahkan
anak-anak mereka. Seberapapun kerja keras yang harus dilakukan, anak tetap
harus sekolah. Itu prinsipnya. Subhanallah,
hal itu membuatku iri, aku bahkan mungkin tak bisa sekuat itu memegang teguh
pendirian. Tapi bagaimana bisa aku tahu kehidupan mereka? Apa-apaan ini? Aku
bahkan tidak tahu siapa yang ada dalam bayanganku!
Rekaman
bayangan itu berlalu, mataku masih terasa di depan TV. Tiba-tiba terdengar
suara keras sambil menangis tersedu-sedu. “Mas Satya nakaal! Mas Satya
nakaaal!” “Anggar! Kok kamu ngeyel to dikasih
tau!” jawab seorang pria di dekatnya.
Tak
lama kemudian, dua pria lagi datang menghampiri mereka. Aku rasa salah satunya
adalah bapaknya, karena dia terlihat sudah tua renta. Lalu pria satunya yang
masih muda melerai mereka. “Ada apa to le? Kok pake teriak-teriak segala?”
tanyanya pelan. Dengan suara menghakimi, si pria paling kecil menjawab, “Mas
Satya tu lho mas, aku kan cuma mau main sebentar ke rumah Mbah Gito, liat
kerdus dari besi yang ada gambarnya gerak-gerak tu lho mas, masa’ nggak boleh.
Mas Satya aja tiap hari pergi dibolehin sama Bapak!”
Cukup
sulit memang mengartikan maksudnya, tapi aku yakin yang dimaksud adalah
televisi, bentuknya kotak dan bahannya ‘dianggap’ dari besi.
“Walah
le, tak kira ada apa! Ya itu wajar to, Mas Satya pergi kan buat kerja. Dia
kerjanya aja di kota Wonosari, jauh to. Kamu kan pernah kesana dulu,” jawab pria
yang belum lama datang tadi penuh wibawa.
“Yo
tapi kan tetep aja mas, aku kan cuma pengen main bentar, ahh! Nanta aja …” kalimatnya
terpotong oleh pria pria yang dipanggil Satya.
“MAS!”
teriaknya mengingatkan “kamu kebiasaan, Nanta itu lebih tua dari kamu, kamu
juga harus menghargai dia sebagai kakakmu, walaupun selisihnya cuma setahun!
Panggilan ‘mas’ itu juga sebagai rasa menghormati.” “Ahhh, mas Satya mas Arya
jahat! Aaahh…” tangis si bungsu.
Si
bapak tak tinggal diam melihat keadaan, ia menghampiri si bungsu, lalu
mengajaknya keluar rumah. “Sudah le, sudah le nangis, masmu itu ngasih tau kamu
ya buat kebaikan kamu. Bukannya nggak boleh kamu mau main ke rumah Mbah Gito,
tapi pekerjaan kamu belum selesai le. Kamu kan masih harus cari kayu to? Masak
lupa sama tugas kamu. Gini le, bapak tau, kita hidup harus begini sehari-hari,
harus mau kerja keras ya buat cari makan, buat bayar uang sekolah kamu, kamu lak masih mau sekolah to?” Tanya bapak
pada anak bungsunya. Si anak hanya mengangguk sambil mengusap air mata dengan
tangannya.
“Lha,
kita ini hidup memang ditakdirkan sebagai keluarga yang seperti ini sama Gusti
Allah, walaupun kadang kurang buat makan atau bayar sekolah, tapi kan kita
punya keluarga, bisa saling membantu. Kita harus ikhlas, dengan kerja keras
sambil selalu berdia pada Gusti Allah itu semuanya bisa didapat, meski harus
susah-susah dulu, tapi pasti membuahkan hasil, mas-mas mu itu juga dulu kerja
kerasnya kayak kamu. Tiap hari harus cari kayu bakar, daun pisang, bertani,
tapi sekarang coba lihat mas Abi, sekarang bisa kuliah di Jogja, gratis lagi.
Malah disana nyambi kerja di toko,
sekarang tiap bulan ngirim uang to? Apa kamu nggak mau jadi kayak masmu itu?” si
anak hanya mengangguk pelan sambil berkata, “Mau pak.”
“Yowes,
nek mau besok lagi jangan ngeyel nek
dikasih tau mas-masmu, itu buat kebaikan kamu le, yo? Inget pesen bapak, pokoknya kamu itu harus bisa sukses, bapak
ini orang buta huruf, kamu harus bisa melebihi bapak ya! Bapak harus bisa lihat
kamu lulus sarjana!”
“Ya
pak, aku ‘kan selalu ingat pesen bapak, maafin Anggar ya pak” jawabnya.
“Iya,
ya wes, sekarang, ayo tak temenin cari kayu bakar buat besok
dijual,” ajak si bapak.
Lagi,
bayangan itu hilang sekejap. Tiba di bayangan yang sangat mengharukan. Aku tak
menghendaki ini muncul, tapi rekaman itu lewat begitu saja. Aku seakan tau
perasaannya. Ini tentang sebuah kehilangan.
Siang itu, seorang pria yang mengenakan baju
toga berdiri kaku, terdiam tanpa kata. Matanya sembab, tapi ia tak lagi
menangis tersedu. Ia, ibunya dan keempat saudaranya harus merasakan kehilangan
yang luar biasa. Bapaknya yang selama ini selalu memberikan dukungan untuk
kerja keras kini terbaring tanpa gerak di atas dipan. Ya, inilah saatnya si Bapak harus kembali pada Allah Sang
Pencipta.
Pria
yang, kurasa dia adalah Anggar menangis pelan, tapi dia juga tersenyum tipis.
Memang ada secuil jiwa yang hilang darinya, tapi tak ada penyesalan mendalam
dalam dirinya. Aneh. Tapi tiba-tiba air mata menetes membasahi pipinya. Dengan
sigap ia langsung mengusapnya, lalu menghampiri ibunya yang dari tadi menangis
meringkuk di samping mendiang suaminya. “Sudahlah mak, kita ndak boleh terus berlarut dalam kesedihan, walaupun bapak
sudah meninggal, tapi beliau ndak pernah meninggalkan kita, bapak akan selalu
ada di sini, di hati kita semua,” hiburnya pada emaknya.
Suara
orang berteriak kencang terdengar di kepalaku. Suara seorang wanita, suara yang
lembut dan menenangkan. Bayangan kabur dan semuanya hilang seketika.
“Mas Anggar! Mas Anggar! Ayo mas, yang lain
udah pada nunggu lhoo!” teriak seorang wanita dengan suara halus dan lembut.
Aku
masih terdiam. Istriku lalu menepuk bahuku. Aku sadar, kini aku kembali ke masa
kini. Sesaat tadi aku hanya melamun. Mengimajinasikan sesuatu. Melihat
bayangan-bayangan yang mampir ke otakku. Ternyata aku salah! Aku tidak hanya
tau siapa kedua bocah tadi, siapa para remaja dan siapa orang tua tadi. Aku tak
hanya membayangkannya begitu saja. Tapi itu adalah simpananku selama ini. File
yang selalu tersimpan dalam harddisk
otakku. Dan sudah saatnya bayangan itu ingin mengingatkanku, pada apa yang telah
aku lalui dulu. Pada sebuah perjuangan orang tua.
“Ehh,
yaya, sorry sorry, maaf aku tadi
nglamun e, hehe,” kataku sambil cengar-cengir. Sambil berjalan ke ruang makan,
dalam hati aku berkata “terimakasih ya Allah, karena sudah mengingatkanku pada
waktu itu. Terimakasih juga atas kemurahan-Mu yang telah memberikan sedikit
waktu untuk bapak melihat aku lulus sarjana waktu itu. Dan aku mohon ya Allah,
sampaikan kata terimakasih ku untuk bapak, karena telah mengajariku bekerja
keras. Sekarang aku tahu arti kehidupan. Dan itu kudapat dari bapak.
“Hidup
adalah perjuangan. Sesungguhnya, setetes keringat dari kerja keras kita mampu
menghasilkan sejuta tetes kesuksesan dalam hidup. Terimakasih sudah banyak
berkorban, terimakasih sudah memberikan arti dari sebuah keluarga dan
terimakasih, sekarang aku masih bisa tertawa bahagia. Semoga bapak selalu
bahagia di sana. Sekali lagi terimakasih”
Sampai
di ruang makan aku menyapa mereka, “Emak,
mas Abi, mas Arya, mas Satya, mas Nanta. Ayo makan bareng yo, aku sudah lapar
ini, aduuuh!”
“Lhah,
kamu gimana to le? Kita semua sudah nunggu kamu lho, eh kamunya malah di luar
cengar-cengir sendiri, ati-ati nek kebiasaan gitu bisa kesambet lho ntar!”
jawab emak.
“Nggih mak, maaf maaf. Ehmm, dan,”
kalimatku sedikit kuperlambat, “errr, terimakasih ya mak.” Kalimat terakhir ini
kuucapkan dengan lembut dan penuh kesungguhan.
Emak hanya tersenyum lepas menatapku. Mungkin ia tahu
maksud “terimakasih”ku. Air matanya berkaca, tapi tak meneteskan air mata. Kami
semua berkumpul bersama. Pada senja hari itu, di ruang makan rumahku kami
saling bercanda dan tertawa bahagia. Tapi masih ada satu bayangan yang tak bisa
hilang dari otakku. Senyuman terakhir bapak saat menatapku memakai baju toga
waktu itu. Bapak…