Wednesday 5 June 2013

Anak itu Bernama Yudha

Hari itu seakan menjadi hari terpenting Nayla. Semua karena Mickey. Bagaimana tidak? Kalau tidak karena kucing itu lari ke rumah tetangganya, Nayla tidak akan bertemu dengan bocah itu lagi. Dan anehnya, Nayla justru salah tingkah setelah bertemu dengan bocah lelaki itu lagi.
"Kamu tetangga baru ya?"Tanya bocah itu sambil menggendong Mickey
"Ehh, aamm, iyaaa, emm...."jawab Nayla
"Hey, ini kucingmu?"
"Yaa? Ohh, emm, iyaaa itu Mickey, maaf yaa, aduhh, ehhmm dia nakal main krumah orang tanpa permisi" kata Nayla agak grogi.
Wanita yang berdiri di depan pintu tadi menjawab ucapan Nayla, "nggak papa, sekalian kenalan sama tetangga baru kok, ya sudah saya masuk dulu yaa, yudha, tolong temani mbak ini ya, ibu mau nerusin masak dulu" lalu wanita itu masuk ke dalam rumah. Suasana menjadi tegang bagi Nayla.
Bocah lelaki tadi lalu memulai pembicaraan lagi, "haha, lagian kamu ini, masak iya kucing bisa masuk sambil permisi" lalu ia menyerahkan kucing Nayla kepada pemiliknya.
"Ehh, iyaa,hehehe, maaf maaf" Nayla malu-malu menerima si Mickey.
"Oh iya, namamu siapa?"
"Hah? Ehhh, kenalin, ehh, aku Nayla"
"Ohh, oke, aku yudha, salam kenal, lain kali kucingnya dibiarin aja main-main kesini ya?" 
"Ohh, ehhmm, iyaaa, aku pamit yaa" Nayla mengakhiri pembicaraan mereka. Ia lalu keluar dari rumah Yudha, kembali ke rumah pink-nya sambil tersenyum-senyum sendiri.
Wajah Nayla berubah, dari wajah penuh kebingungan karena mencari Mickey, sekarang dia bermuka cerah dan ceria karena telah bertemu lagi dengan bocah bersenyum manis itu. Nayla terlihat begitu bahagia sekarang.
Malam itu Nayla agak susah tidur, Karena kejadian sore tadi membuat fikirannya sangat terganggu. Yang ada dalam pikirannya hanyalah bocah lelaki yang memberikan Mickey padanya sore tadi, Yudha.
***
Keesokan harinya, Nayla sudah siap pukul 06.00 untuk berangkat ke sekolahnya. Anak kelas tiga memang sangat ketat peraturannya, dia harus menjalani Pendalaman Materi setiap hari Senin – Jum’at di sekolahnya dari jam 06.30 WIB. Tapi itu tak berat bagi Nayla, karena dia sudah terbiasa bangun di pagi hari.
Hari itu menjadi hari yang lancar bagi Nayla, tak ada hambatan bagi Nayla dalam menerima pelajaran hari itu. Setidaknya sampai mata pelajaran ke-tujuh. Konsentrasi Nayla mulai berubah sejak dia melihat teman yang duduk di depan Nayla mengeluarkan tempat pensil bergambar Mickey Mouse. Dia langsung teringat kejadian sore kemarin yang berawal dari kucingnya, Mickey. Sejak istirahat kedua, dia hanya senyum-senyum sendiri, pikiran Nayla melayang jauh ke rumahnya. Dia masih saja kepikiran Yudha. Satu-satunya harapan Nayla saat itu adalah, dia ingin segera pulang ke rumah.
Bel tanda pulang akhirnya berbunyi pukul 14.00 WIB. Saat yang paling ditunggu-tunggu Nayla sejak istirahat kedua. Dia cepat-cepat keluar dari sekolahnya. Tak jauh dari gerbang sekolahnya, dia melihat Kak Cyntia menunggu Nayla di atas motor matic-nya berwarna putih. Dengan langkah seribu Nayla langsung menghampiri kakaknya dan segera minta pulang. Cyntia bingung dengan sikap adiknya yang menjadi aneh karena merengek-rengek minta pulang, karena biasanya adikanya justru minta diantar jalan-jalan dulu.
Cyntia akhirnya menuruti kata adiknya, mereka langsung melaju pulang. Tapi sampai di rumah, raut wajah Nayla menjadi agak kecewa. Pagar dan pintu rumah Yudha tertutup rapat, menunjukkan dia belum pulang. Nayla lalu masuk ke rumah dengan wajah berubah lesu.
Di dalam rumah, Nayla hanya berdua dengan Cyntia, karena ayah dan bunda mereka pergi bekerja ke luar kota. Karena mereka sangat sibuk, sehari-hari Nayla lebih sering menghabiskan waktu dengan kakanya. Cyntia pun juga menjaga amanah orang tuanya dengan sangat bertanggung jawab. Sembari mengerjakan tugas skripsi-nya yang cukup menyibukkan, dia tetap memikirkan adiknya agar tidak merasa kesepian karena orang tuanya harus pulang-balik Jogja-Solo.
Setelah sampai di rumah, Nayla langsung mengganti bajunya lalu duduk di ruang tengah sambil makan siang. Sedangkan Cyntia duduk di ruang tengah sambil menata kertas-kertas untuk data skripsi­­-nya. Melihat Nayla sedang santai sambil makan, Cyntia lalu memulai pembicaraan.
“Dek, kamu ini kan sudah kelas tiga, tapi kamu belum ikut les apa-apa, nah kamu mau nggak nih ikut les di Alfa Smart, tempatnya nggak jauh dari sini, jadi kamu bisa naik sepeda kesana. Karena kakak nggak bisa terus mengajari kamu setiap hari, tapi kakak akan memantau kamu terus kok, gimana?”
“ehh, yaaa aku mau sih, aku emang butuh teman belajar, nggak bisa kalo harus belajar sendiri terus, eh, tapi kira-kira gurunya killer nggak ya?”
“yaa dicoba dulu aja makanya, nanti sore kita ke sana yaa”
“Hmmm, oke” Nayla mengakhiri pembicaraan sambil menuju ke dapur untuk mencuci piring yang ia gunakan utuk makan sebelumnya.
***
Sore akhirnya datang, sekitar pukul 16.30, Nayla dan Cyntia pergi ke tempat les Alfa Smart yang dibicarakan Cyntia. Tempatnya memang tak jauh, sekitar 500 meter dari rumah Nayla. Bangunannya sederhana tapi terlihat cukup menarik dan mencolok karena cat-nya yang berwarna hijau dan kuning. Sampai di sana, mereka berdua masuk ke ruangan depan yang terdapat front office melalui pintu utama depan tempat parkir kendaraan.
Sampai di dalam, Nayla agak penasaran. Dengan bocah lelaki yang ia lihat sekilas sedang masuk ke sebuah ruangan dekat front office, Nayla sepertinya kenal dengan anak itu. Ini membuat Nayla antusias untuk segera mendaftar ke tempat les ini. Karena dari cirri-ciri fisiknya, pikiran Nayla tertuju pada satu orang, bocah itu terlihat seperti Yudha.

(bersambung)

Tuesday 4 June 2013

Pertemuan Kedua



Masih dengan Nayla yang memejamkan matanya. Seakan sedang bermeditasi dengan khusyuk. Di pesisir pantai itu dia masih duduk di atas batu karang tak berbentuk. Kedua kakinya ditekuk hingga lututnya hamper mendekati perutnya. Buku mungil berwarna pink bergambar Helly Kitty dan penanya yang juga berwarna pink dengan bulu-bulu di salah satu ujungnya diselipkan di antara kaki dan perutnya. Tapi ada hal yang berbeda kali ini. Wajah mungilnya terlihat semakin manis. Ujung bibirnya melebar menunjukkan senyum bahagia. Dia seolah sedang menemui bayangan indah dalam kepalanya.
***
Musim penghujan masih berlanjut. Di bulan Februari 2009, orang-orang masih terlihat sibuk dengan payung atau jas hujan sebagai alat pelindung diri dari tetesan air hujan. Tak berbeda dengan keadaan di sebuah desa kecil yang tak jauh dari jalan utama menuju kota. Penduduk lalu lalang melewati jalan becek dengan sangat hati-hati, karena banyak lubang yang tergenang air di jalan desa ini.
Hamparan sawah yang menjadi cirri khas desa ini menjadi terlihat begitu basah. Begitu juga dengan sawah yang hampir mengelilingi enam rumah di pinggir salah satu jalan desa ini. Di antara ke enam rumah yang sederhana itu, ada satu rumah yang terletak paling ujung sebelah kiri terlihat begitu mencolok dari jauh. Cat temboknya berwarna pink, sedang atapnya berwarna ungu. Pagarnya terbuat dari trails besi berwarna oranye, dengan ukiran bunga di setiap sisinya.
Rumah yang terbilang eye-catching­ itu adalah tempat di mana Nayla pernah berteduh dari hujan sampai bertemu dengan bocah lelaki bersenyum manis. Ya, rumah milik keluarga Nayla kini telah selesai dibangun. Rumah berlantai dua yang hanya memiliki lima tetangga di sebelah kanannya tampak begitu berbeda dengan yang lain. Mungkin karena cat tembok dan atapnya masih baru, sehingga berbeda dengan lima rumah lainnya yang cat temboknya sudah mulai terkelupas.
Pada minggu pagi yang basah karena hujan, tampak tak jauh dari rumah ini, ada sebuah mobil sedan mercy berwarna silver melaju mendekat kea rah rumah mungil tadi. Mereka adalah keluarga Nayla. Sudah lama sejak dia terakhir mengantarkan makan siang untuk para kuli, Nayla jarang sekali mampir ke proyek rumah keluarganya. Atau bisa dibilang hampir tidak pernah karena jarak dari rumah dinas yang ia tinggali dulu cukup jauh bila dia harus naik sepeda. Disamping itu dia mengikuti kegiatan sekolahnya, terutama kegiatan pramuka yaitu jamboree yang mengharuskan dia pergi ke luar kota. Terlebih lagi dia sekarang sudah kelas tiga SMP, jadi waktunya lebih banyak ia gunakan untuk les, belajar dan istirahat.
Tapi sekarang adalah waktu untuk Nayla pindah permanen ke rumah barunya. Nayla sebenarnya masih bingung, antara harus sedih karena meninggalkan teman-temannya di tempat dia tiunggal dulu, atau dia harus senang karena memiliki rumah baru. Namun satu hal yang ada di benak Nayla, setidaknya bila dia pindah, dia mungkin bias bertemu dengan bocah lelaki dengan senyum menawan itu.
Nayla sampai di rumah mungilnya. Dia keluar dari mobil, juga kakak perempuannya dan kedua orangtuanya. Tapi Nayla tidak turun sendiri, dia menggendong seekor kucing Persia berbulu putih kapas. Dia memanggilnya Mickey.
“Mickey, ini rumah baru kita, mulai malam nanti kita akan tidur di sini, bersama ayah, bunda, dan Kak Cyntia. Di sini tempatnya enak,meskipun di desa tapi setidaknya tempatnya nyaman apalagi kalau pagi, pasti sejuk deh udaranya. Kamu harus betah ya di sini” kata Nayla sambil berdiri di bawah kanopi dekat pagar untuk berteduh sembari menunggu pintu pagar yang sedang dibuka bunda-nya.
Setelah pintu terbuka, semua anggota keluarga sederhana ini masuk ke rumah. Tak lama kemudian ada satu mobil pick-up berisi penuh perabotan rumah tangga yang berhenti di depan rumah Nayla. Empat pria yang tadinya berada dalam mobil pick-up tadi lalu turuhn dan mulai mengangkati perabotan ke dalam rumah Nayla. Hari itu, keluarga ini sibuk menata rumah.
Tidak butuh waktu lama untuk menata tata letak rumah itu, karena semuanya telah terkonsep dengan rapi oleh ayah Nayla. Hingga sore itu, semua telah selesai tertata. Rapi pada tempatnya masing-masing. Nayla bersama Mickey masuk ke kamarnya. Dia memperhatikan keadaan sekitar kamarnya. Penuh dengan nuansa berwarna pink. Semua terlihat begitu elegan, tapi sederhana, karena tidak ada perabotan yang terlihat mecolok, hanya satu tempat tidur, dua lemari berukuran besar dan kecil dan satu meja belajar.
Semua orang di rumah pink Nayla terlihat lelah karena seharian telah bekerja keras untuk mempercantik keadaan rumah. Namun ada yang aneh dengan Nayla, dia terlihat sedang kebingungan mencari sesuatu. Jalan kesana-kemari sambil memperhatikan keadaan sekitar, mengobservasi keadaan atau entah apalah. Yang jelas, dia terlihat kehilangan sesuatu. Yang ternyata dia sedang mencari kucing kesayangannya, Mickey.
“Mickey, mickey dimana kamu nak” teriak Nayla.
“Masih belum ketemu Nay?” kata kakak perempuannya, kak Cyntia.
“belum, tadi dia diam di sini, terus aku tinggal nata kamar, pas aku tengok lagi dia sudah nggak ada, aaa di mana Mickey?” rengek Nayla sambil menunjuk ke arah depan televise di ruang tengah.
“Kamu udahcoba cari di seluruh isi rumah?”
“sudah kakaaaak, dari tadi aku sudah muter-muter sana kemari, bolak balik ya nyari si Mickey”
“coba kamu cari di luar, dia itu kan masih baru di sini, jadi nggak mungkin sampai lari jauh-jauh dari rumah. Kan dia masih asing dengan tempat ini Nay. Sana cepat cari di luar mumpung belum kelamaan.”
Nayla langsung menuruti kata kakaknya. Dia langsung lari keluar menuju ke halaman rumahnya. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri tapi masih tak ada tanda-tanda Mickey ada di sini. Dia lalu berjalan keluar melewati pagar langsung belok kanan. Dia melihat sekilas ekor Mickey yang putih masuk ke dalam rumah tetangga tepat sebelah kanan dari rumah Nayla. Tapi dia justru bingung, antara ingin masuk ke rumah untuk menjemput Mickey, atau ttap diam karena takut dengan pemilik rumah.
Akhirnya Nayla memberanikan diri masuk ke halaman rumah tetangganya. Dia dengan pelan mengetuk pintu rumah hingga ada seorang wanita dengan mengenakan kaos berwarnaputih dan celana panjang semacam training berwarna hitam keluar dari dalam rumah. Dia bertanya dengan lembut, “Ya, ada apa?”
“ehm, ini tadi kucing saya masuk ke rumah ini, apa dia ada di dalam ya?” Tanya Nayla pada wanita itu dengan sopan.
“ohhh, ituu er ta…” wanita itu berusaha menjawab, tapi sudah terpotong suara anak laki-laki dari dalam rumah.
“Buk, ini kucing siapa ya? Kok ada di sini?” kata anak itu sambil menggendong kucing Nayla sembari berjalan keluar menuju wanita tadi.
“Mickey !!!!” teriak Nayla keras. “Kamu kok…” dia menghentikan suaranya. Dia terpaku pada anak laki-laki yang menggendong Mickey. Bagaimana tidak? Anak lelaki ittu adalah bocah laki-laki yang ditemui Nayla pada waktu hujan di tahun sebelumnya. Nayla shock dan bingung kata-kata apa yang akan dia ucapkan setelah melihat anak itu.
“Hey …” sapa bocah itu.
“Ehh, umm, hey …” jawab Nayla tersipu ..

 (bersambung...)

Monday 3 June 2013

Pandangan Pertama Nayla

“Tarik nafas dalam-dalam, ku hembuskan perlahan. Aku hanya bisa terdiam, terpana dan terpaku. Langkahku terhenti di persimpangan jalan, memberiku kegalauan untuk terus melangkah maju. Hanya terfikirkan olehku untuk melangkah mundur. Namun hatiku selalu meminta untuk mencari jalan pintas. Hanya saja, tak satu simpanganpun terlintas di benakku.......”
Seorang gadis terlihat tengah menuliskan segala amarahnya pada sebuah buku kecil berwarna pink bergambar hello kitty di sampulnya. Di atas batu karang, di pesisir pantai dengan ombak yang berderu kencang, gadis itu menatap langit. Melihat ke atas sejenak lalu memejamkan matanya begitu lama.
Nayla, seorang gadis cantik dengan tubuh hampir perfect. Badannya cukup berisi, tingginya kurang lebih 150 cm. Terbilang rata-rata, tidak terlalu tinggi dan tidak pendek pula. Wajahnya bulat. Matannya cekung agak sipit dan hidungnya agak pesek. Pipi tembamnya memperlihatkan wajahnya yang imut dan lucu. Kulit yang sawo matang membuatnya tampak manis. Rambutnya yang tergerai bergerak menari-nari terbawa angin darat. Membuat dia merasakan seolah dia ikut terbang bersama angin. Dalam pejaman matanya, dia memikirkan seuatu.
***
Oktober, 2008. Musim penghujan mulai datang. Awan mendung sudah tak mampu menahan beban air yang ditampungnnya. Hujan deras datang tanpa toleransi. Langit tampak begitu kelam tanpa kehadiran sinar mentari karena tertutup gumpalan awan hitam. Suasana siang  hari yang tadinya nampak cerah, kini berubah menjadi hampir suram.
Di sebuah desa kecil yang tak jauh dari jalan besar, terlihat seorang gadis dengan pita merah mengikat sebagiann rambutnnya sedang mengayuh sepeda. Dari  arah utara, dia melaju kencang. Tangan kanannya memegang stang sepedanya yang berwarna pink tua. Sedang tangan kirinya memegang tas plastik hitam yang didekap di badannya, menjagannya supaya tak basah terkena tetesan hujan. Tapi apa daya, tangannya tak mampu menahan tetesan air yang datang kroyokan untuk membasahi tas plastik hitam itu. Bajunya pun sudah terlanjur basah.
Tak jauh setelah dia melaju kencang dengan sepedanya, dia berhenti di depan sebuah proyek rumah separuh jadi. Fondasi rumah itu sudah terpetak-petak, menunjukkan pembagian ruangan pada rumah itu. Tembok batanya masih belum sempurna, hanya sebagian tempat yang sudah terbentang tinggi. Di pojok dari tembok bata rumah belum sempurna ini, ada lima orang pria sedang meneduh di bawah terpal berwarna oranye yang dijadikan atap mereka berteduh.
Melihat gadis bersepeda tadi berhenti, salah seorang pria dari bawah terpal oranye berteriak dengan kencang.“Nayla, sini cepet! Hujan sudah deres banget lhooo !!!”
“Iya paak” jawab Nayla belia sambil lari menuju tempat di bawah terpal oranye dengan membawa plastik hitam tadi.
Sampai di bawah terpal, dia memberikan plastik hitam yang ternyata berisi makanan berat untuk para pria tadi. Mereka adalah kuli bangunan yang sedang mengerjakan rumah itu. Sedang rumah itu adalah rumah milik keluarga Nayla. Orangtua gadis belia ini sedang dalam proses untuk pindah dari rumah dinas di daerah kota menuju ke desa kecil ini. Sedangkan Nayla yang pada hari itu sedang libur sekolah disuruh untuk mengantar makanan ke proyek rumah orang tuanya ini.
“Maaf pak, nasinya sepertinya agak basah tadi kena air, mbungkus-nya cuma pakai kertas soalnya.”
“Nggak papa nduk, yang penting dapat jatah makan siang.” Kata salah seorang kuli sambil membuka bungkusan makanan yang dibawa Nayla tadi.
Dari tempat Nayla belia duduk bersama lima kuli tadi, terlihat segerombolan anak laki-laki seumuran belia sedang lari kejar-kejaran di tengah derasnya hujan. Setidaknya ada enam anak laki-laki yang terlihat dari tempat Nayla belia duduk. Awalnya dia sama sekali tak menghiraukan mereka. Sampai salah seorang di antara anak laki-laki tadi-yang entah sengaja atau tidak-melempar bola futsal bercorak belang-belang berwarna putih-merah ke arah proyek rumah keluarga Nayla.
Anak laki-laki yang melempar bola tadi langsung lari menuju tengah area proyek rumah Nayla, tempat bolanya terjatuh dari lemparannya. Pandangan Nayla belia tertuju pada anak itu. Anak laki-laki yang mengenakan kaos hitam gambar tengkorak dengan tulisan “Death Code” dan celana selutut bercorak kotak-kotak warna coklat muda membuat Nayla belia terpaku. Ada  yang salah dari Nayla, dia seakan melihat seorang bidadara yang turun ke bumi mengambil panah yang terjatuh dari khayangan.
Mata bocah itu cekung agak lebar, badannya ideal dengan tingginya serasi dengan bentuk wajahnya yang oval. Rambutnya pendek model spec. Kulitnya kuning langsat dan hidungnya terlihat mancung. Setidaknya itu yang bisa dilihat Nayla, karena tempat bola jatuh tadi tak jauh dari tempat Nayla duduk meneduh.
Anak laki-laki tadi mengambil bola lalu berdiri membersihkan sebagian sisi dari bola yang kotor terkena tanah di proyek rumah Nayla. Tak lama kemudian, dia menoleh ke arah Nayla, sambil tersenyum lepas dia menganggukkan kepalanya. Seolah dia memberi isyarat untuk menyampaikan kata “permisi”-nya.
Nayla belia membalas senyumnya dengan menganggukkan kepalanya juga. Tapi kali ini berbeda untuk Nayla belia, dia merasakan sesuatu yang berbeda. Dia seakan tersipu akan senyum bocah lelaki itu. Nayla ingin memanggilnya, tapi dia tak kuasa mengeluarkan suaranya untuk sekedar berkata “hey” pada bocah itu.
Tapi Nayla belia terlalu lama berfikir untuk jadi mengatakan kata “hey” atau tidak. Hingga akhirnya bocah tadi langsung membalikkan badan dan kembali ke gerombolan bocah-bocah lelaki tadi setelah memberikan senyum indah yang mengalihkan dunia Nayla belia sejenak. Dia bingung. Antara dia menyesal, gembira, galau, dan semua rasa lain bercampur jadi satu. Nayla penasaran, siapa bocah lelaki itu?

Nayla belia masih terdiam dan terpaku ke arah tempat segerombolan bocah tadi berada. Dia masih terngiang bayangan bocah lelaki berbaju hitam dengan senyum hangat di tengah dinginnya hujan. Dia penasaran, dan dia ingin tahu siapa anak itu. Tapi dia takut untuk melangkahkan kaki mengejar bocah lelaki tadi. Hingga akhirnya dia tetap duduk di tempat dia berteduh dengan lima kuli tadi sambil senyum-senyuk kecil karena teringat senyum bocah tadi. Dalam hati kecilnya dia hanya berkata “Tuhan, aku penasaran siapa dia, aku ingin tahu siapa dia, bila kau mengizinkanku untuk mengenalnya, maka pertemukanlah aku dengan dia.”

(bersambung.....)