Monday 3 June 2013

Pandangan Pertama Nayla

“Tarik nafas dalam-dalam, ku hembuskan perlahan. Aku hanya bisa terdiam, terpana dan terpaku. Langkahku terhenti di persimpangan jalan, memberiku kegalauan untuk terus melangkah maju. Hanya terfikirkan olehku untuk melangkah mundur. Namun hatiku selalu meminta untuk mencari jalan pintas. Hanya saja, tak satu simpanganpun terlintas di benakku.......”
Seorang gadis terlihat tengah menuliskan segala amarahnya pada sebuah buku kecil berwarna pink bergambar hello kitty di sampulnya. Di atas batu karang, di pesisir pantai dengan ombak yang berderu kencang, gadis itu menatap langit. Melihat ke atas sejenak lalu memejamkan matanya begitu lama.
Nayla, seorang gadis cantik dengan tubuh hampir perfect. Badannya cukup berisi, tingginya kurang lebih 150 cm. Terbilang rata-rata, tidak terlalu tinggi dan tidak pendek pula. Wajahnya bulat. Matannya cekung agak sipit dan hidungnya agak pesek. Pipi tembamnya memperlihatkan wajahnya yang imut dan lucu. Kulit yang sawo matang membuatnya tampak manis. Rambutnya yang tergerai bergerak menari-nari terbawa angin darat. Membuat dia merasakan seolah dia ikut terbang bersama angin. Dalam pejaman matanya, dia memikirkan seuatu.
***
Oktober, 2008. Musim penghujan mulai datang. Awan mendung sudah tak mampu menahan beban air yang ditampungnnya. Hujan deras datang tanpa toleransi. Langit tampak begitu kelam tanpa kehadiran sinar mentari karena tertutup gumpalan awan hitam. Suasana siang  hari yang tadinya nampak cerah, kini berubah menjadi hampir suram.
Di sebuah desa kecil yang tak jauh dari jalan besar, terlihat seorang gadis dengan pita merah mengikat sebagiann rambutnnya sedang mengayuh sepeda. Dari  arah utara, dia melaju kencang. Tangan kanannya memegang stang sepedanya yang berwarna pink tua. Sedang tangan kirinya memegang tas plastik hitam yang didekap di badannya, menjagannya supaya tak basah terkena tetesan hujan. Tapi apa daya, tangannya tak mampu menahan tetesan air yang datang kroyokan untuk membasahi tas plastik hitam itu. Bajunya pun sudah terlanjur basah.
Tak jauh setelah dia melaju kencang dengan sepedanya, dia berhenti di depan sebuah proyek rumah separuh jadi. Fondasi rumah itu sudah terpetak-petak, menunjukkan pembagian ruangan pada rumah itu. Tembok batanya masih belum sempurna, hanya sebagian tempat yang sudah terbentang tinggi. Di pojok dari tembok bata rumah belum sempurna ini, ada lima orang pria sedang meneduh di bawah terpal berwarna oranye yang dijadikan atap mereka berteduh.
Melihat gadis bersepeda tadi berhenti, salah seorang pria dari bawah terpal oranye berteriak dengan kencang.“Nayla, sini cepet! Hujan sudah deres banget lhooo !!!”
“Iya paak” jawab Nayla belia sambil lari menuju tempat di bawah terpal oranye dengan membawa plastik hitam tadi.
Sampai di bawah terpal, dia memberikan plastik hitam yang ternyata berisi makanan berat untuk para pria tadi. Mereka adalah kuli bangunan yang sedang mengerjakan rumah itu. Sedang rumah itu adalah rumah milik keluarga Nayla. Orangtua gadis belia ini sedang dalam proses untuk pindah dari rumah dinas di daerah kota menuju ke desa kecil ini. Sedangkan Nayla yang pada hari itu sedang libur sekolah disuruh untuk mengantar makanan ke proyek rumah orang tuanya ini.
“Maaf pak, nasinya sepertinya agak basah tadi kena air, mbungkus-nya cuma pakai kertas soalnya.”
“Nggak papa nduk, yang penting dapat jatah makan siang.” Kata salah seorang kuli sambil membuka bungkusan makanan yang dibawa Nayla tadi.
Dari tempat Nayla belia duduk bersama lima kuli tadi, terlihat segerombolan anak laki-laki seumuran belia sedang lari kejar-kejaran di tengah derasnya hujan. Setidaknya ada enam anak laki-laki yang terlihat dari tempat Nayla belia duduk. Awalnya dia sama sekali tak menghiraukan mereka. Sampai salah seorang di antara anak laki-laki tadi-yang entah sengaja atau tidak-melempar bola futsal bercorak belang-belang berwarna putih-merah ke arah proyek rumah keluarga Nayla.
Anak laki-laki yang melempar bola tadi langsung lari menuju tengah area proyek rumah Nayla, tempat bolanya terjatuh dari lemparannya. Pandangan Nayla belia tertuju pada anak itu. Anak laki-laki yang mengenakan kaos hitam gambar tengkorak dengan tulisan “Death Code” dan celana selutut bercorak kotak-kotak warna coklat muda membuat Nayla belia terpaku. Ada  yang salah dari Nayla, dia seakan melihat seorang bidadara yang turun ke bumi mengambil panah yang terjatuh dari khayangan.
Mata bocah itu cekung agak lebar, badannya ideal dengan tingginya serasi dengan bentuk wajahnya yang oval. Rambutnya pendek model spec. Kulitnya kuning langsat dan hidungnya terlihat mancung. Setidaknya itu yang bisa dilihat Nayla, karena tempat bola jatuh tadi tak jauh dari tempat Nayla duduk meneduh.
Anak laki-laki tadi mengambil bola lalu berdiri membersihkan sebagian sisi dari bola yang kotor terkena tanah di proyek rumah Nayla. Tak lama kemudian, dia menoleh ke arah Nayla, sambil tersenyum lepas dia menganggukkan kepalanya. Seolah dia memberi isyarat untuk menyampaikan kata “permisi”-nya.
Nayla belia membalas senyumnya dengan menganggukkan kepalanya juga. Tapi kali ini berbeda untuk Nayla belia, dia merasakan sesuatu yang berbeda. Dia seakan tersipu akan senyum bocah lelaki itu. Nayla ingin memanggilnya, tapi dia tak kuasa mengeluarkan suaranya untuk sekedar berkata “hey” pada bocah itu.
Tapi Nayla belia terlalu lama berfikir untuk jadi mengatakan kata “hey” atau tidak. Hingga akhirnya bocah tadi langsung membalikkan badan dan kembali ke gerombolan bocah-bocah lelaki tadi setelah memberikan senyum indah yang mengalihkan dunia Nayla belia sejenak. Dia bingung. Antara dia menyesal, gembira, galau, dan semua rasa lain bercampur jadi satu. Nayla penasaran, siapa bocah lelaki itu?

Nayla belia masih terdiam dan terpaku ke arah tempat segerombolan bocah tadi berada. Dia masih terngiang bayangan bocah lelaki berbaju hitam dengan senyum hangat di tengah dinginnya hujan. Dia penasaran, dan dia ingin tahu siapa anak itu. Tapi dia takut untuk melangkahkan kaki mengejar bocah lelaki tadi. Hingga akhirnya dia tetap duduk di tempat dia berteduh dengan lima kuli tadi sambil senyum-senyuk kecil karena teringat senyum bocah tadi. Dalam hati kecilnya dia hanya berkata “Tuhan, aku penasaran siapa dia, aku ingin tahu siapa dia, bila kau mengizinkanku untuk mengenalnya, maka pertemukanlah aku dengan dia.”

(bersambung.....)

No comments:

Post a Comment