Tuesday 18 February 2014

Happy Birthday

this video,
dedicated for my best friend,
Arga Mandala Priyambodo :)

Senyum Terakhir Bapak


Langit begitu cerah. Matahari bersinar dengan terang, awan pun tak berani menutupi cahayanya. Tetesan embun di daun menandakan sejuknya dunia. Kicauan burung kenari, simbol kedamaian hidup. Hembusan angin menambah indahnya suasana.
Mataku hanya terfokus pada satu titik. Pada satu bayangan di mana hanya aku yang mampu melihat. Imajinasiku mengantarkanku pada masa itu. Masa di mana penderitaan dan kebahagiaan tercampur aduk menjadi satu. Masa di mana ketentraman menutupi kesengsaraan. Canda tawa menutupi jerit tangis. Dan senyuman menutupi kesedihan.
 Mereka terlihat bahagia. Senyum senang riang gembira. Dengan pakaian lusuh yang dikenakan dan celana kumal tiga perempat. Di sebuah gubug reyot dengan dinding dari anyaman bambu mereka bersenda gurau. Duduk melingkar beralaskan tikar tua. Kakek tua renta, tiga lelaki belia dan dua lelaki masih kanak-kanak.
Perkumpulan itu ternyata untuk menunggu seorang perempuan tua, yang keriput tapi tak mampu menutupi wajah cantiknya. Ia keluar tidak dengan tangan hampa. Tangan kanannya membawa sepiring penuh nasi dan tangan kirinya membawa sepiring sayur, ya bisa dibilang sayur, tapi tak terlihat seperti sayur, lebih mirip semur ayam atau bistik. Sebenarnya itu adalah jantung pisang yang dimasak hanya direbus dengan kecap.
Para lelaki langsung ramai, kecuali si pria tua yang hanya tersenyum. Perempuan paruh baya tadi meletakkan nasi dan semur jantung di tengah-tengah mereka. “Le jupuk nasi aja rebutan yaa!” kata wanita tua itu. “Siap mak!!!” jawab para lelaki belia dan adik-adiknya serempak. Siang itu, mereka makan dengan lahap, walau hanya dengan semur jantung pisang.
Imajinasiku berganti, aku seakan melihat tayangan televisi yang diubah channel-nya. Aku melihat jalan setapak terbuat dari batu-batu putih yang runcing. Bila melewatinya dengan kaki telanjang, rasanya pasti cukup menyakitkan. Beberapa saat kemudian aku sadar. Aku kenal tempat ini, desa yang selalu aku rindukan semenjak aku meninggalkannya, Desa Tengklik. Dari kejauhan kulihat dua bocah mengenakan seragam SD berlari kejar-kejaran sambil membawa seikat daun pisang. Bocah itu sama dengan yang kulihat saat bayangan pertama muncul. Kakak beradik yang paling muda.
Saat itu matahari hampir membakar tubuh mereka. Namun sepertinya itu tak begitu berpengaruh bagi mereka. Bahkan kulitnya yang sudah gosong pun mereka membiarkannya. Saat mendekati sebuah cakruk di pinggir jalan, mereka melambat. Langkahnya hampir seperti orang jalan kaki, hanya saja lebih cepat.
“Nanta, Anggar, mampir le!!” teriak seorang pria tua di dalam cakruk. “Wah nggak pakde, ini masih harus njual daun pisang je, soale keburu penjualnya berangkat” jawab Anggar dengan nada sedikit kecewa. “Besok saja nggih, kalo pas nggak keburu-buru” lanjut si Nanta dengan lantang. “wo ya wes, ati-ati yo! jawab pria itu.
Mereka berjalan pergi, aku hanya mengamatinya. Mataku seakan mengirimkan sinyal ke otakku. Membuatku berfikir sejenak, sepertinya aku kenal mereka, sepertinya mereka adalah orang yang sangat penting untukku, sepertinya, sepertinya, sepertinya. Selalu begitu. Sedetik kemudian, aku menemukannya, aku rasa aku tau banyak seluk beluk kehidupan mereka. 
Menjual daun pisang. Ya, itulah kehidupan sehari-hari mereka. Setiap pulang sekolah harus menjual daun pisang ke pasar, atau ke rumah tetangga. Orang tuanya yang hanya petani padi ini setiap hari bekerja keras mencari uang. Walau kedua orang tua ini buta huruf, tapi tak melunturkan tekad mereka untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Seberapapun kerja keras yang harus dilakukan, anak tetap harus sekolah. Itu prinsipnya. Subhanallah, hal itu membuatku iri, aku bahkan mungkin tak bisa sekuat itu memegang teguh pendirian. Tapi bagaimana bisa aku tahu kehidupan mereka? Apa-apaan ini? Aku bahkan tidak tahu siapa yang ada dalam bayanganku!
Rekaman bayangan itu berlalu, mataku masih terasa di depan TV. Tiba-tiba terdengar suara keras sambil menangis tersedu-sedu. “Mas Satya nakaal! Mas Satya nakaaal!” “Anggar! Kok kamu ngeyel to dikasih tau!” jawab seorang pria di dekatnya.
Tak lama kemudian, dua pria lagi datang menghampiri mereka. Aku rasa salah satunya adalah bapaknya, karena dia terlihat sudah tua renta. Lalu pria satunya yang masih muda melerai mereka. “Ada apa to le? Kok pake teriak-teriak segala?” tanyanya pelan. Dengan suara menghakimi, si pria paling kecil menjawab, “Mas Satya tu lho mas, aku kan cuma mau main sebentar ke rumah Mbah Gito, liat kerdus dari besi yang ada gambarnya gerak-gerak tu lho mas, masa’ nggak boleh. Mas Satya aja tiap hari pergi dibolehin sama Bapak!”
Cukup sulit memang mengartikan maksudnya, tapi aku yakin yang dimaksud adalah televisi, bentuknya kotak dan bahannya ‘dianggap’ dari besi.
“Walah le, tak kira ada apa! Ya itu wajar to, Mas Satya pergi kan buat kerja. Dia kerjanya aja di kota Wonosari, jauh to. Kamu kan pernah kesana dulu,” jawab pria yang belum lama datang tadi penuh wibawa.
“Yo tapi kan tetep aja mas, aku kan cuma pengen main bentar, ahh! Nanta aja …” kalimatnya terpotong oleh pria pria yang dipanggil Satya.
“MAS!” teriaknya mengingatkan “kamu kebiasaan, Nanta itu lebih tua dari kamu, kamu juga harus menghargai dia sebagai kakakmu, walaupun selisihnya cuma setahun! Panggilan ‘mas’ itu juga sebagai rasa menghormati.” “Ahhh, mas Satya mas Arya jahat! Aaahh…” tangis si bungsu.
Si bapak tak tinggal diam melihat keadaan, ia menghampiri si bungsu, lalu mengajaknya keluar rumah. “Sudah le, sudah le nangis, masmu itu ngasih tau kamu ya buat kebaikan kamu. Bukannya nggak boleh kamu mau main ke rumah Mbah Gito, tapi pekerjaan kamu belum selesai le. Kamu kan masih harus cari kayu to? Masak lupa sama tugas kamu. Gini le, bapak tau, kita hidup harus begini sehari-hari, harus mau kerja keras ya buat cari makan, buat bayar uang sekolah kamu, kamu lak masih mau sekolah to?” Tanya bapak pada anak bungsunya. Si anak hanya mengangguk sambil mengusap air mata dengan tangannya.
“Lha, kita ini hidup memang ditakdirkan sebagai keluarga yang seperti ini sama Gusti Allah, walaupun kadang kurang buat makan atau bayar sekolah, tapi kan kita punya keluarga, bisa saling membantu. Kita harus ikhlas, dengan kerja keras sambil selalu berdia pada Gusti Allah itu semuanya bisa didapat, meski harus susah-susah dulu, tapi pasti membuahkan hasil, mas-mas mu itu juga dulu kerja kerasnya kayak kamu. Tiap hari harus cari kayu bakar, daun pisang, bertani, tapi sekarang coba lihat mas Abi, sekarang bisa kuliah di Jogja, gratis lagi. Malah disana nyambi kerja di toko, sekarang tiap bulan ngirim uang to? Apa kamu nggak mau jadi kayak masmu itu?” si anak hanya mengangguk pelan sambil berkata, “Mau pak.”
“Yowes, nek mau besok lagi jangan ngeyel nek dikasih tau mas-masmu, itu buat kebaikan kamu le, yo? Inget pesen bapak, pokoknya kamu itu harus bisa sukses, bapak ini orang buta huruf, kamu harus bisa melebihi bapak ya! Bapak harus bisa lihat kamu lulus sarjana!”
“Ya pak, aku ‘kan selalu ingat pesen bapak, maafin Anggar ya pak” jawabnya.
“Iya, ya wes, sekarang, ayo tak temenin cari kayu bakar buat besok dijual,” ajak si bapak.
Lagi, bayangan itu hilang sekejap. Tiba di bayangan yang sangat mengharukan. Aku tak menghendaki ini muncul, tapi rekaman itu lewat begitu saja. Aku seakan tau perasaannya. Ini tentang sebuah kehilangan.
 Siang itu, seorang pria yang mengenakan baju toga berdiri kaku, terdiam tanpa kata. Matanya sembab, tapi ia tak lagi menangis tersedu. Ia, ibunya dan keempat saudaranya harus merasakan kehilangan yang luar biasa. Bapaknya yang selama ini selalu memberikan dukungan untuk kerja keras kini terbaring tanpa gerak di atas dipan. Ya, inilah saatnya si Bapak harus kembali pada Allah Sang Pencipta.
Pria yang, kurasa dia adalah Anggar menangis pelan, tapi dia juga tersenyum tipis. Memang ada secuil jiwa yang hilang darinya, tapi tak ada penyesalan mendalam dalam dirinya. Aneh. Tapi tiba-tiba air mata menetes membasahi pipinya. Dengan sigap ia langsung mengusapnya, lalu menghampiri ibunya yang dari tadi menangis meringkuk di samping mendiang suaminya. “Sudahlah mak, kita ndak boleh terus berlarut dalam kesedihan, walaupun bapak sudah meninggal, tapi beliau ndak pernah meninggalkan kita, bapak akan selalu ada di sini, di hati kita semua,” hiburnya pada emaknya.
Suara orang berteriak kencang terdengar di kepalaku. Suara seorang wanita, suara yang lembut dan menenangkan. Bayangan kabur dan semuanya hilang seketika.
 “Mas Anggar! Mas Anggar! Ayo mas, yang lain udah pada nunggu lhoo!” teriak seorang wanita dengan suara halus dan lembut.
Aku masih terdiam. Istriku lalu menepuk bahuku. Aku sadar, kini aku kembali ke masa kini. Sesaat tadi aku hanya melamun. Mengimajinasikan sesuatu. Melihat bayangan-bayangan yang mampir ke otakku. Ternyata aku salah! Aku tidak hanya tau siapa kedua bocah tadi, siapa para remaja dan siapa orang tua tadi. Aku tak hanya membayangkannya begitu saja. Tapi itu adalah simpananku selama ini. File yang selalu  tersimpan dalam harddisk otakku. Dan sudah saatnya bayangan itu ingin mengingatkanku, pada apa yang telah aku lalui dulu. Pada sebuah perjuangan orang tua.
“Ehh, yaya, sorry sorry, maaf aku tadi nglamun e, hehe,” kataku sambil cengar-cengir. Sambil berjalan ke ruang makan, dalam hati aku berkata “terimakasih ya Allah, karena sudah mengingatkanku pada waktu itu. Terimakasih juga atas kemurahan-Mu yang telah memberikan sedikit waktu untuk bapak melihat aku lulus sarjana waktu itu. Dan aku mohon ya Allah, sampaikan kata terimakasih ku untuk bapak, karena telah mengajariku bekerja keras. Sekarang aku tahu arti kehidupan. Dan itu kudapat dari bapak.
“Hidup adalah perjuangan. Sesungguhnya, setetes keringat dari kerja keras kita mampu menghasilkan sejuta tetes kesuksesan dalam hidup. Terimakasih sudah banyak berkorban, terimakasih sudah memberikan arti dari sebuah keluarga dan terimakasih, sekarang aku masih bisa tertawa bahagia. Semoga bapak selalu bahagia di sana. Sekali lagi terimakasih”
Sampai di ruang makan aku menyapa mereka, “Emak, mas Abi, mas Arya, mas Satya, mas Nanta. Ayo makan bareng yo, aku sudah lapar ini, aduuuh!”
“Lhah, kamu gimana to le? Kita semua sudah nunggu kamu lho, eh kamunya malah di luar cengar-cengir sendiri, ati-ati nek kebiasaan gitu bisa kesambet lho ntar!” jawab emak.
Nggih mak, maaf maaf. Ehmm, dan,” kalimatku sedikit kuperlambat, “errr, terimakasih ya mak.” Kalimat terakhir ini kuucapkan dengan lembut dan penuh kesungguhan.

Emak hanya tersenyum lepas menatapku. Mungkin ia tahu maksud “terimakasih”ku. Air matanya berkaca, tapi tak meneteskan air mata. Kami semua berkumpul bersama. Pada senja hari itu, di ruang makan rumahku kami saling bercanda dan tertawa bahagia. Tapi masih ada satu bayangan yang tak bisa hilang dari otakku. Senyuman terakhir bapak saat menatapku memakai baju toga waktu itu. Bapak…

Goresan Tinta untuk Dad, Mom, dan Kak Angie

Michael, 19 tahun. Biasa dipanggil Mike oleh temanku. Tapi orang tuaku memanggil Mickey, menurut mereka itu panggilan sayang. Tapi aku geli mendengarnya.  
Aku pria kelahiran London, UK . aku bagaikan orang yang sangat beruntung. Bayangkan saja orang tuaku punya kekayaan tujuh turunan. Perusahaan advertising milik daddy- tercecer di mana-mana di seantero Indonesia. Bahkan ada empat perusahaannya di Inggris. Mommy adalah orang Indo asli dari Jakarta. Sedangkan daddy dari Inggris.
Siang itu, aku pulang dari kampus. Sudah hampir dua tahun ini aku belajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis program Internasional Universitas Gajah Mada. Tapi, aku masih di semester dua. Lagi-lagi dosen mengancamku. Aku mungkin harus mengulang semester dua ini lagi, karena batas absenku sudah habis.
Aku mungkin terlihat seperti orang yang pemalas. Suka menghambur-hamburkan uang, dan yah…terkesan seperti suka foya-foya. Tapi itu salah. Sama sekali tidak benar. Selama kuliah di UGM, aku kost di kawasan Pogung Yogyakarta.
Bila aku sering membolos kuliah, bukan berarti aku anak pemalas. Aku tak pernah menginginkan kuliah di bidang manajemen atau akuntansi atau apapun yang berbau tentang ini. Itu semua keinginan orang tuaku, terutama daddy. Daddy berharap aku bisa menjadi penerus pengelola perusahaannya yang tercecer di mana-mana. Tapi aku punya mimpi yang lain.
Aku selalu menolak dan membantah daddy bila dalam telepon membicarakan; ‘kamu besok harus menjadi direktur perusahaan daddy’, atau ‘kamu besok harus bisa memajukan perusahaan daddy’ atau ya … semua yang berhubungan tentang perusahaan. Hingga suatu hari di sore yang mendung, daddy dan mommy datang dari Jakarta menghampiri ke kos ku. Saat itu aku sedang sibuk di depan layar laptop.
Hello Mickey, kamu sedang apa? Mengerjakan tugas kuliah kamu?” sapa daddy.
No, Dad. Aku sedang, em ya main-main games aja,” jawabku agak ragu. Langsung kututup program office word yang sedang terbuka. Lalu memulai pembicaraan lagi ,“Kenapa tidak menelpon dulu kalau mau ke sini? Hmm, you want something to drink?”
“Oh no. Well, begini Mickey. Dad dan mom ingin bicara serius dengan kamu. Ini tentang perusahaan kita Mickey. Kamu harus segera menyelesaikan kuliah kamu. Come on, son. Ini sudah hampir tahun ketiga kamu masih di semester dua. Kamu seh …”
What?” aku menyela daddy. “Perusahaan? Again? No no no no no no, Dad. Jawaban Mike tetap sama. Mike tetap nggak mau ikut campur urusan perusahaan. Mike nggak mau! Kenapa harus selalu Mike yang dipaksa? Kenapa dad nggak Kak Angie aja sih dad, mom? Dia lebih tahu masalah tentang perusahaan.” Kak Angie adalah kakak perempuanku. Angelina, yang sama cantiknya dengan mommy. Dia selalu ingin ikut terlibat dalam urusan perusahaan. Tapi dad dan mom selalu menolak.
No, of course not. Dia ini seorang wanita. Bahkan mommy tak pernah mau ikut campur di perusahaan. It’s ashame! Itu memalukan kalau kakak kamu sampai ikut bekerja di perusahaan. Dia seharusnya hanya di rumah atau ke salon manicure pedicure.” Mommy mengelak pendapatku.
“Itu terserah pada kalian mom, dad. Tapi jawabanku tetap sama. Asal kalian tahu, Kak Angie bahkan lebih hebat dibanding aku dalam mencari peluang bisnis. Bukankah kalian pernah melihat dia melakukan hal baik untuk perusahaan? Dia pernah memenangkan tender ke Luar Negeri.”
No, Mike. Kamu ini masih anak-anak. Kamu masih labil. Daddy tahu, kamu besok masih bisa berubah pikiran. Lagipula, kamu ini mau jadi apa nantinya? Daddy sudah memberi kemudahan untuk masa depan kamu.
 “Aku punya mimpi. Mimpi yang lebih indah dibanding berlian semahal apapun di dunia ini. Yang jauh lebih berharga untukku dibanding segala harta kekayaan yang kumiliki. Dan beginilah caraku menggapai mimpiku” Jawabku.
Pembicaraanku dengan mereka masih sama seperti sebelum-sebelumnya. Dad dan Mom menunjukkan wajah kecewa. Mereka ingin terus membujukku, tetapi malam itu juga mereka harus pulang, karena Dad harus menyelesaikan urusan bisnisnya.
***
Selang dua hari, mereka kembali ke kosku. Tapi tidak dengan tangan hampa. Mereka menaiki mobil sedan Camry 3.5 Q warna silver, seri tercanggih berplat putih. Ya, mobil baru.
Mickey, ini Dad belikan mobil baru untuk kamu. Kamu pasti suka. Ini terlihat elegan sekali bila kamu yang menaikinya.” Kata Dad sambil menyodorkan kunci padaku.
Yes, Mickey. Ini mom yang memilihkan untuk kamu. Kamu pasti suka. Mom tahu kamu butuh mobil kan, ya di sini kamu kemana-mana harus naik motor, pasti kepanasan kan?”
What?” aku kaget dengan jalan pikiran mereka. Mobil itu terlihat mewah sekali. Mengkilau terkena cahaya. Daddy tersenyum padaku. Lalu berkata, “Bagaimana Mickey. Kamu suka kan? Ini pasti akan cocok sekali untuk kamu. Terutama ketika kamu pergi ke kantor dengan mobil ini, pasti terlihat sangat elegan.”
Aku yang tadinya sedang mengamati body mobil Camry terbaru ini tiba-tiba diam. Sekarang aku tahu maksud mereka.
“Aku tahu arah pembicaraan daddy dan mommy. Aku tahu kalian ingin menyogokku dengan cara seperti ini. Tapi jawaban Mike tetap sama. Aku tidak akan mau menjadi direktur perusahaan sampai kapanpun! Sorry mom, dad. Aku benar-benar tak bisa.” Aku kembali ke dalam kost-nya. Teman satu kosku bergerombol melihat mereka dari balik jendela. Mereka terfokus pada mobil Camry silver yang diparkir di halaman.
Dad masih berusaha membujukku. Mereka kembali ke kosku. Pergi pulang Jakarta – Jogja. Tapi jawabanku tetap sama. Dalam waktu satu bulan, mereka lima kali ke kost selalu membawa barang-barang mewah. Bahkan aku juga dibelikan rumah baru. Tapi tetap saja jawabannya hanya “tidak”.
Aku sudah tidak tahan dengan semua ini. Mereka terlalu memaksakan kehendaknya padaku. Cukup! Aku tak mau mimpiku hilang begitu saja. Hingga akhirnya aku bertekad pergi dari kosku. Sebelumnya aku menuliskan surat untuk orang tuaku.
Hello Daddy Mommy, maafkan Mickey yang harus pergi dengan cara seperti ini. Mungkin di fikiran kalian, Mickey adalah anak yang durhaka. Tak mau mendengarkan nasihat kalian. Sorry Dad, Mom. Aku benar-benar minta maaf. Tapi ini jalan satu-satunya. Agar kalian tidak memaksakan aku. Kalian juga harus memikirkan Kak Angie.
Aku mohon Daddy, luangkan waktumu sedikit untuknya. Aku ingin kalian tidak mengekang dia lagi, dia benar-benar berminat pada menjadi penerusmu Daddy. Aku yakin, perusahaan Daddy pasti akan lebih sukses. Please Dad, beri dia kesempatan.
Well, aku juga punya mimpi yang sangat berharga untukku. Mimpiku sederhana, sangat sederhana. Tapi menurutku, ini sangat mulia. Aku berani bertanggun jawab atas semua kelakuanku Mom, Dad. Aku akan kembali. Pada waktunya nanti. Jadi kalian tak perlu mencari. Aku pasti pulang. Katakan pada Kak Angie untuk tidak mengkhawatirkanku.
Well Daddy, Mommy. Kau ingin tahu apa mimpiku? You’ll know …
(Your Mickey)
***
Tujuh tahun berlalu. Di sebuah rumah mewah di Jakarta dengan dinding dari keramik dan halamannya dari batu marmer, ada seorang Pak Pos yang mengantarkan sebuah bingkisan. Aku memperhatikan dari kejauhan. Sebuah kardus berukuran sedang yang dibungkus rapi dengan kertas cokelat. Ukurannya hampir sama dengan ukuran kertas folio, hanya lebih lebar sedikit.
Seorang wanita yang sudah cukup dewasa keluar dengan serbet di pundaknya. Dia menerima bingkisan tersebut. Lalu lari masuk ke dalam rumah.
Aku hendak masuk ke dalam rumah. Satpam rumah itu tahu siapa aku. Tapi aku member isyarat padanya untuk diam. Langkahku terhenti di depan pintu, aku mengintip daddy mengambil tumpukan terakhir isi bingkisan itu dari jendela depan, dad agak gemetar memegang buku ini. Dad membacanya agak keras, mungkin agar mom bisa mendengarnya. Ku dengar dia berkata, “Story of My Beloved Family, Cerita dari Keluargaku Tercinta oleh Michael Dacey Brandon.” Kulihat Dad membuka lembar demi lembar buku ini. Ia berhenti pada satu halaman di depan, dan membacanya“Untuk Daddy, yang selalu memberiku inspirasi dari setiap kata-katanya, dari setiap perlakuannya padaku, dan dari setiap segala yang diberikan padaku. Untuk Mommy, yang selalu memotivasiku dari setiap senyumannya, dari setiap tetesan air matanya, dan dari setiap pelukan hangatnya kepadaku. Untuk Kak Angie, yang selalu ada untuk membangunkanku ketika aku terjatuh, ketika aku terlelap, dan ketika aku putus asa.”
Daddy terharu melihat ini. Aku masuk perlahan ke rumahku dulu. Mereka memandangiku. Aku berjalan perlahan mendekati mereka. Tapi langkahku terhenti. Aku membalikkan badan. Kak Angie yang baru pulang dari kantor kini ada di depanku dengan wajah cantiknya. Kami saling menatap.
Ku balikkan badan lagi. Kini aku melihat ke arah mom dan dad, lalu tersenyum pada mereka. Kami hanya tertawa lepas setelahnya.

(04082012)


Dilemma


 Jam tangan Myisha sudah menunjukkan pukul 7.15. Gadis yang mengenakan seragam putih abu-abu dan jilbab putih terburu-buru masuk ke gerbang sekolahnya. Ia panik karena takut terlambat. Ditambah lagi suasana sekolah yang sepi. Sampai-sampai ia tak melihat jalan. Ujung-ujungnya dia menabrak seorang cowok yang hendak keluar foto copy tugas dari gurunya. Gara-gara tubrukan Myisha. berlembar-lembar kertas jatuh berserakan.
“Aduh, Farkhan sorry. Aku nggak lihat ada kamu tadi. Maaf, maaf.” Myisha menyesali perbuatannya.
“Eh Myisha. Nggak papa, nggak papa. Udah biasa ditabrakin orang. Hhe. Kamu kenapa keburu-buru?” tanya Farkhan.
“Aku, aku udah telat nih. Mana pelajaran pertama jamnya Pak Eko nih. Dia kan killer banget. Aduh, maaf banget ya.”
Farkhan tertawa terbahak-bahak. Dia menunjukkan jam dinding sekolah yang menunjukkan pukul 6.22. Ternyata jam tangan Myisha mati, dan berhenti di 7.15. “Aduh Myisha, kamu gimana sih, ini masih jam setengah tujuh. Kamu sih, jadi orang cuek banget, sampe jam tangan mati nggak diperhatiin. Gini kan jadinya.” Farkhan lalu mengambil lembar-lembar kertas yang jatuh.
Myisha tersipu malu. “Oh, gitu ya? Hihi, yaudah aku duluan deh ya. Sorry banget Khan.” Lalu dia kembali berjalan santai ke sekolah. Farkhan memerhatikan langkah Myisha yang menjauh. Ia malah senyum-senyum sendiri. Tapi itu wajar. Kelakuan remaja yang sedang jatuh cinta. Pasti senyum-senyum sendiri melihat orang yang disayanginya.
Farkhan dan Myisha adalah teman satu kelas. Mereka sangat dekat untuk ukuran teman biasa.. Farkhan memendam perasaan cinta pada Myisha. Tapi dia punya alasan untuk tidak menyatakan perasaannya. Myisha sebenarnya juga memiliki perasaan yang sama pada Farkhan. Tapi Myisha mengira perasaannya hanya bertepuk sebelah tangan.
Hari demi hari berlalu. Mendekati ujian akhir ini, mereka semakin dekat. Dari kebiasaan sering belajar bersama. Ini membuat Farkhan semakin yakin dengan perasaannya. Tapi tidak dengan Myisha. Dia justru dilemma.
Belum lama ini, dia didekati dengan seorang pria. Anak dari teman orang tuanya. Pria itu bernama Adi. Kehidupannya sudah mapan, bagaimana tidak? Dia sudah menjadi PNS walaupun lulusan SMA. Hanya selisih tiga tahun dengan Myisha. Dan satu hal, dia tak kalah tampan dengan Farkhan.
Adi menyatakan perasaannya setelah pendekatannya selama tiga bulan. Walaupun dia sudah tahu lama dengan Myisha, tapi dia baru berani setelah mendapat lampu hijau dari orang tua Myisha. Ya orang tua Myisha memang suka dengannya. Bagaimana tidak? Dia tampan, sopan dan kehidupannya sudah mapan. Dia menuntut jawaban dari Myisha. Tapi Myisha belum bisa memberi jawaban. Dia tidak mau teledor mengambil keputusan. Alasan lain adalah, dia mencintai orang lain.
“Myisha. Aku ingin kamu tahu. Aku sudah lama mengamatimu. Aku sudah lama menjadi baying-bayangmu. Aku hanya ingin kamu tahu. Aku juga sudah lama mencintai kamu. Aku juga sudah bilang pada orang tua kamu. Dan mereka merestui hubungan ini. Sekarang tinggal dari kamu Sha.”
“Maaf mas Adi. Maaf, aku nggak bisa kalau secepat ini. Aku mengenal kamu baru tiga bulan. Itu nggak cukup untuk aku menimbang-nimbang keputusan yang arif. Maaf mas. Tapi buat aku cinta bukan sesuatu yang bisa datang dan pergi tiba-tiba. Aku butuh waktu mas, maaf. Aku tidak mau mengatasnamakan “cinta” menjadi sesuatu yang hanya untuk pelampiasan nafsu semata. Hanya untuk mengikuti trend remaja masa kini. Nggak, nggak bisa kayak gitu. Tenang mas, semua akan indah pada waktunya kok. Sekali lagi maaf.”
“Baik Myisha. Aku akan menerima segala keputusan kamu. Tapi tolong, beri aku jawaban setelah kamu selesai ujian ya. Please…kamu mau kan?” Myisha hanya tersenyum dan mengangguk pada Adi.
Setelah pernyataan suka dari Adi, Myisha semakin bingung dan dilemma. Ditambah ketika Raka datang kembali ke kehidupannya. Mantan pacarnya. Well, bicara tentang Myisha yang dulu memang cukup mengerikan. Dia sempat berpacaran dengan Raka di bangku kelas satu SMA. Backstreet, jadi orang tuanya tidak tahu menahu soal ini.
Dia anak yang cukup nakal waktu itu, menjadi anggota ‘genk illegal’ di sekolahnya. Suka menjahili temannya, bahkan berkelahi dengan teman laki-laki di sekolahnya. Bisa dibilang dia dulu cewek tomboy. Tapi dia berubah, semenjak dia mengenal Farkhan di kelas tiga ini.
Kini, setelah Myisha berubah. Raka datang lagi di hidupnya. Ia menyatakan perasaan cintanya pada Myisha. “Myisha, sudah dua tahun ini aku masih memikirkan kamu. Jujur semenjak kamu memutuskan aku waktu itu aku mencoba mencari pengganti dirimu. Tapi nggak ada yang bisa sebaik kamu Sha. Please, terima aku lagi sebagai pengisi hati kamu.”
Hati Myisha mencelos. Bagaimana mungkin Raka mengatakan hal seperti itu padanya. Myisha memang masih menyayangi Raka. Tapi kini hatinya tidak hanya terisi Raka seorang. Ada dua pria yang juga ikut ambil bagian di hatinya. Myisha semakin dilemma.
Tiba saat Myisha dan Farkhan mengerjakan tugas bersama. Karena sama-sama memiliki perasaan cinta, mereka menjadi semakin canggung satu sama lain.
Farkhan terus memandangi Myisha, tapi Myisha tidak menyadarinya. Dia terlalu sibuk menulis laporan penelitian Fisika-nya. Dalam hati Farkhan, ia berkata, ‘Subhanallah. Tidakkah terlihat betapa cantiknya dia? Apa aku akan berdosa bila terus memandanginya. Tapi aku tak mampu berpaling dari wajah cantiknya. Dia terlihat begitu anggun, dengan hijab yang melilit wajah dan lehernya. Dengan senyum lepasnya.’
Tapi tiba-tiba Myisha memberanikan diri mengatakan semua permasalahan kegalauannya pada Farkhan. Farkhan terkejut mendengarnya. “Apa yang harus kulakukan Khan? Aku dihadapkan pada suatu pilihan yang sulit. Kenapa aku tidak terlahir sebagai perempuan yang hanya punya satu pilihan?” Myisha membuyarkan lamunan Farkhan.
“ya? Oh, emm, nggak Myisha. Kamu salah kalau kamu berkata seperti itu Myisha. hidup adalah sebuah pilihan. Yang dipilih adalah tergantung dari jalan fikiran kita. Kamu perempuan yang cantik Myisha, semua orang pasti akan berkata begitu. Kamu baik juga pintar. Kamu memang hampir sempurna. Wajar bila banyak yang menyatakan cinta padamu. Kalau kamu bertanya padaku apa yang harus kamu lakukan, jawabannya ada pada dirimu sendiri. Kuncinya adalah, ikuti kata hatimu tapi pikirkan dengan logika. Jangan sampai cinta menenggelamkan kamu pada sebuah lautan dosa, Sha. Pikirkan dengan baik-baik.”
“Aku ingin memilih, Khan. Tapi yang ingin kupilih tidak ada di pilihan ini. Aku ingin memilih seorang pria yang bisa membuat hati ini damai dan sejuk. Tapi dia mungkin tidak pernah merasakan hal yang sama denganku. Bagaimana aku bisa memilih dia?”
Farkhan penasaran, siapa yang ingin dipilih Myisha. Dia memberanikan diri bertanya, “Kalau aku boleh bertanya, siapa dia Sha? Lelaki beruntung yang ingin kamu pilih?”
Myisha diam sejenak. Dia tidak menanggapi pertanyaan Farkhan secara verbal. Dia hanya menunjukkan tangannya pada pria di depannya. Dia menunjuk Farkhan.
Hati Farkhan mencelos. Bagaimana mungkin Myisha menunjuknya? “Maksud kamu a-a-aku?” Farkhan masih ternganga. Tapi dia justru tertawa, “Hhaha, kamu aneh Sha. Seharusnya kamu tahu, kalau pria yang kamu maksud adalah aku, maka pria itu juga merasakan hal yang sama padamu.”
Myisha tampak kaget. Farkhan melanjutkan kalimatnya, “Kamu bebas memilih siapapun Sha. Bahkan kalaupun kamu mau memilih aku, itu hakmu. Tapi maaf Myisha, walaupun aku juga mencintaimu, bahkan sangat mencintaimu, tapi aku tidak bisa Sha. Aku tak ingin merusak keindahan hati kamu. Aku takut, aku nantinya justru memberi dampak negatif pada kamu. Mana mungkin aku merusak orang yang sudah menjadi lebih baik. Sama saja aku mencelupkan bayi yang baru lahir ke sungai. Lagipula kamu harus tahu Sha. Kita masih harus memikirkan sekolah. Buat aku pendidikan harus diutamakan. Aku memang pernah merasakan jatuh cinta, padamu Sha. Tapi aku tidak mau kamu terganggu karena perasaanku. Maaf Sha.”
Sore itu semuanya terungkapkan. Semua perasaan Farkhan pada Myisha, begitu juga sebaliknya. Kini Myisha menyadari satu hal. Dia sudah memutuskan jawabannya sekarang.
Hanya ada satu jawaban yang masuk akal bagi Myisha. Dia tidak akan memilih satu dari ketiganya …


(02082012)