Tuesday 18 February 2014

Senyum Terakhir Bapak


Langit begitu cerah. Matahari bersinar dengan terang, awan pun tak berani menutupi cahayanya. Tetesan embun di daun menandakan sejuknya dunia. Kicauan burung kenari, simbol kedamaian hidup. Hembusan angin menambah indahnya suasana.
Mataku hanya terfokus pada satu titik. Pada satu bayangan di mana hanya aku yang mampu melihat. Imajinasiku mengantarkanku pada masa itu. Masa di mana penderitaan dan kebahagiaan tercampur aduk menjadi satu. Masa di mana ketentraman menutupi kesengsaraan. Canda tawa menutupi jerit tangis. Dan senyuman menutupi kesedihan.
 Mereka terlihat bahagia. Senyum senang riang gembira. Dengan pakaian lusuh yang dikenakan dan celana kumal tiga perempat. Di sebuah gubug reyot dengan dinding dari anyaman bambu mereka bersenda gurau. Duduk melingkar beralaskan tikar tua. Kakek tua renta, tiga lelaki belia dan dua lelaki masih kanak-kanak.
Perkumpulan itu ternyata untuk menunggu seorang perempuan tua, yang keriput tapi tak mampu menutupi wajah cantiknya. Ia keluar tidak dengan tangan hampa. Tangan kanannya membawa sepiring penuh nasi dan tangan kirinya membawa sepiring sayur, ya bisa dibilang sayur, tapi tak terlihat seperti sayur, lebih mirip semur ayam atau bistik. Sebenarnya itu adalah jantung pisang yang dimasak hanya direbus dengan kecap.
Para lelaki langsung ramai, kecuali si pria tua yang hanya tersenyum. Perempuan paruh baya tadi meletakkan nasi dan semur jantung di tengah-tengah mereka. “Le jupuk nasi aja rebutan yaa!” kata wanita tua itu. “Siap mak!!!” jawab para lelaki belia dan adik-adiknya serempak. Siang itu, mereka makan dengan lahap, walau hanya dengan semur jantung pisang.
Imajinasiku berganti, aku seakan melihat tayangan televisi yang diubah channel-nya. Aku melihat jalan setapak terbuat dari batu-batu putih yang runcing. Bila melewatinya dengan kaki telanjang, rasanya pasti cukup menyakitkan. Beberapa saat kemudian aku sadar. Aku kenal tempat ini, desa yang selalu aku rindukan semenjak aku meninggalkannya, Desa Tengklik. Dari kejauhan kulihat dua bocah mengenakan seragam SD berlari kejar-kejaran sambil membawa seikat daun pisang. Bocah itu sama dengan yang kulihat saat bayangan pertama muncul. Kakak beradik yang paling muda.
Saat itu matahari hampir membakar tubuh mereka. Namun sepertinya itu tak begitu berpengaruh bagi mereka. Bahkan kulitnya yang sudah gosong pun mereka membiarkannya. Saat mendekati sebuah cakruk di pinggir jalan, mereka melambat. Langkahnya hampir seperti orang jalan kaki, hanya saja lebih cepat.
“Nanta, Anggar, mampir le!!” teriak seorang pria tua di dalam cakruk. “Wah nggak pakde, ini masih harus njual daun pisang je, soale keburu penjualnya berangkat” jawab Anggar dengan nada sedikit kecewa. “Besok saja nggih, kalo pas nggak keburu-buru” lanjut si Nanta dengan lantang. “wo ya wes, ati-ati yo! jawab pria itu.
Mereka berjalan pergi, aku hanya mengamatinya. Mataku seakan mengirimkan sinyal ke otakku. Membuatku berfikir sejenak, sepertinya aku kenal mereka, sepertinya mereka adalah orang yang sangat penting untukku, sepertinya, sepertinya, sepertinya. Selalu begitu. Sedetik kemudian, aku menemukannya, aku rasa aku tau banyak seluk beluk kehidupan mereka. 
Menjual daun pisang. Ya, itulah kehidupan sehari-hari mereka. Setiap pulang sekolah harus menjual daun pisang ke pasar, atau ke rumah tetangga. Orang tuanya yang hanya petani padi ini setiap hari bekerja keras mencari uang. Walau kedua orang tua ini buta huruf, tapi tak melunturkan tekad mereka untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Seberapapun kerja keras yang harus dilakukan, anak tetap harus sekolah. Itu prinsipnya. Subhanallah, hal itu membuatku iri, aku bahkan mungkin tak bisa sekuat itu memegang teguh pendirian. Tapi bagaimana bisa aku tahu kehidupan mereka? Apa-apaan ini? Aku bahkan tidak tahu siapa yang ada dalam bayanganku!
Rekaman bayangan itu berlalu, mataku masih terasa di depan TV. Tiba-tiba terdengar suara keras sambil menangis tersedu-sedu. “Mas Satya nakaal! Mas Satya nakaaal!” “Anggar! Kok kamu ngeyel to dikasih tau!” jawab seorang pria di dekatnya.
Tak lama kemudian, dua pria lagi datang menghampiri mereka. Aku rasa salah satunya adalah bapaknya, karena dia terlihat sudah tua renta. Lalu pria satunya yang masih muda melerai mereka. “Ada apa to le? Kok pake teriak-teriak segala?” tanyanya pelan. Dengan suara menghakimi, si pria paling kecil menjawab, “Mas Satya tu lho mas, aku kan cuma mau main sebentar ke rumah Mbah Gito, liat kerdus dari besi yang ada gambarnya gerak-gerak tu lho mas, masa’ nggak boleh. Mas Satya aja tiap hari pergi dibolehin sama Bapak!”
Cukup sulit memang mengartikan maksudnya, tapi aku yakin yang dimaksud adalah televisi, bentuknya kotak dan bahannya ‘dianggap’ dari besi.
“Walah le, tak kira ada apa! Ya itu wajar to, Mas Satya pergi kan buat kerja. Dia kerjanya aja di kota Wonosari, jauh to. Kamu kan pernah kesana dulu,” jawab pria yang belum lama datang tadi penuh wibawa.
“Yo tapi kan tetep aja mas, aku kan cuma pengen main bentar, ahh! Nanta aja …” kalimatnya terpotong oleh pria pria yang dipanggil Satya.
“MAS!” teriaknya mengingatkan “kamu kebiasaan, Nanta itu lebih tua dari kamu, kamu juga harus menghargai dia sebagai kakakmu, walaupun selisihnya cuma setahun! Panggilan ‘mas’ itu juga sebagai rasa menghormati.” “Ahhh, mas Satya mas Arya jahat! Aaahh…” tangis si bungsu.
Si bapak tak tinggal diam melihat keadaan, ia menghampiri si bungsu, lalu mengajaknya keluar rumah. “Sudah le, sudah le nangis, masmu itu ngasih tau kamu ya buat kebaikan kamu. Bukannya nggak boleh kamu mau main ke rumah Mbah Gito, tapi pekerjaan kamu belum selesai le. Kamu kan masih harus cari kayu to? Masak lupa sama tugas kamu. Gini le, bapak tau, kita hidup harus begini sehari-hari, harus mau kerja keras ya buat cari makan, buat bayar uang sekolah kamu, kamu lak masih mau sekolah to?” Tanya bapak pada anak bungsunya. Si anak hanya mengangguk sambil mengusap air mata dengan tangannya.
“Lha, kita ini hidup memang ditakdirkan sebagai keluarga yang seperti ini sama Gusti Allah, walaupun kadang kurang buat makan atau bayar sekolah, tapi kan kita punya keluarga, bisa saling membantu. Kita harus ikhlas, dengan kerja keras sambil selalu berdia pada Gusti Allah itu semuanya bisa didapat, meski harus susah-susah dulu, tapi pasti membuahkan hasil, mas-mas mu itu juga dulu kerja kerasnya kayak kamu. Tiap hari harus cari kayu bakar, daun pisang, bertani, tapi sekarang coba lihat mas Abi, sekarang bisa kuliah di Jogja, gratis lagi. Malah disana nyambi kerja di toko, sekarang tiap bulan ngirim uang to? Apa kamu nggak mau jadi kayak masmu itu?” si anak hanya mengangguk pelan sambil berkata, “Mau pak.”
“Yowes, nek mau besok lagi jangan ngeyel nek dikasih tau mas-masmu, itu buat kebaikan kamu le, yo? Inget pesen bapak, pokoknya kamu itu harus bisa sukses, bapak ini orang buta huruf, kamu harus bisa melebihi bapak ya! Bapak harus bisa lihat kamu lulus sarjana!”
“Ya pak, aku ‘kan selalu ingat pesen bapak, maafin Anggar ya pak” jawabnya.
“Iya, ya wes, sekarang, ayo tak temenin cari kayu bakar buat besok dijual,” ajak si bapak.
Lagi, bayangan itu hilang sekejap. Tiba di bayangan yang sangat mengharukan. Aku tak menghendaki ini muncul, tapi rekaman itu lewat begitu saja. Aku seakan tau perasaannya. Ini tentang sebuah kehilangan.
 Siang itu, seorang pria yang mengenakan baju toga berdiri kaku, terdiam tanpa kata. Matanya sembab, tapi ia tak lagi menangis tersedu. Ia, ibunya dan keempat saudaranya harus merasakan kehilangan yang luar biasa. Bapaknya yang selama ini selalu memberikan dukungan untuk kerja keras kini terbaring tanpa gerak di atas dipan. Ya, inilah saatnya si Bapak harus kembali pada Allah Sang Pencipta.
Pria yang, kurasa dia adalah Anggar menangis pelan, tapi dia juga tersenyum tipis. Memang ada secuil jiwa yang hilang darinya, tapi tak ada penyesalan mendalam dalam dirinya. Aneh. Tapi tiba-tiba air mata menetes membasahi pipinya. Dengan sigap ia langsung mengusapnya, lalu menghampiri ibunya yang dari tadi menangis meringkuk di samping mendiang suaminya. “Sudahlah mak, kita ndak boleh terus berlarut dalam kesedihan, walaupun bapak sudah meninggal, tapi beliau ndak pernah meninggalkan kita, bapak akan selalu ada di sini, di hati kita semua,” hiburnya pada emaknya.
Suara orang berteriak kencang terdengar di kepalaku. Suara seorang wanita, suara yang lembut dan menenangkan. Bayangan kabur dan semuanya hilang seketika.
 “Mas Anggar! Mas Anggar! Ayo mas, yang lain udah pada nunggu lhoo!” teriak seorang wanita dengan suara halus dan lembut.
Aku masih terdiam. Istriku lalu menepuk bahuku. Aku sadar, kini aku kembali ke masa kini. Sesaat tadi aku hanya melamun. Mengimajinasikan sesuatu. Melihat bayangan-bayangan yang mampir ke otakku. Ternyata aku salah! Aku tidak hanya tau siapa kedua bocah tadi, siapa para remaja dan siapa orang tua tadi. Aku tak hanya membayangkannya begitu saja. Tapi itu adalah simpananku selama ini. File yang selalu  tersimpan dalam harddisk otakku. Dan sudah saatnya bayangan itu ingin mengingatkanku, pada apa yang telah aku lalui dulu. Pada sebuah perjuangan orang tua.
“Ehh, yaya, sorry sorry, maaf aku tadi nglamun e, hehe,” kataku sambil cengar-cengir. Sambil berjalan ke ruang makan, dalam hati aku berkata “terimakasih ya Allah, karena sudah mengingatkanku pada waktu itu. Terimakasih juga atas kemurahan-Mu yang telah memberikan sedikit waktu untuk bapak melihat aku lulus sarjana waktu itu. Dan aku mohon ya Allah, sampaikan kata terimakasih ku untuk bapak, karena telah mengajariku bekerja keras. Sekarang aku tahu arti kehidupan. Dan itu kudapat dari bapak.
“Hidup adalah perjuangan. Sesungguhnya, setetes keringat dari kerja keras kita mampu menghasilkan sejuta tetes kesuksesan dalam hidup. Terimakasih sudah banyak berkorban, terimakasih sudah memberikan arti dari sebuah keluarga dan terimakasih, sekarang aku masih bisa tertawa bahagia. Semoga bapak selalu bahagia di sana. Sekali lagi terimakasih”
Sampai di ruang makan aku menyapa mereka, “Emak, mas Abi, mas Arya, mas Satya, mas Nanta. Ayo makan bareng yo, aku sudah lapar ini, aduuuh!”
“Lhah, kamu gimana to le? Kita semua sudah nunggu kamu lho, eh kamunya malah di luar cengar-cengir sendiri, ati-ati nek kebiasaan gitu bisa kesambet lho ntar!” jawab emak.
Nggih mak, maaf maaf. Ehmm, dan,” kalimatku sedikit kuperlambat, “errr, terimakasih ya mak.” Kalimat terakhir ini kuucapkan dengan lembut dan penuh kesungguhan.

Emak hanya tersenyum lepas menatapku. Mungkin ia tahu maksud “terimakasih”ku. Air matanya berkaca, tapi tak meneteskan air mata. Kami semua berkumpul bersama. Pada senja hari itu, di ruang makan rumahku kami saling bercanda dan tertawa bahagia. Tapi masih ada satu bayangan yang tak bisa hilang dari otakku. Senyuman terakhir bapak saat menatapku memakai baju toga waktu itu. Bapak…

No comments:

Post a Comment