Tuesday 18 February 2014

Goresan Tinta untuk Dad, Mom, dan Kak Angie

Michael, 19 tahun. Biasa dipanggil Mike oleh temanku. Tapi orang tuaku memanggil Mickey, menurut mereka itu panggilan sayang. Tapi aku geli mendengarnya.  
Aku pria kelahiran London, UK . aku bagaikan orang yang sangat beruntung. Bayangkan saja orang tuaku punya kekayaan tujuh turunan. Perusahaan advertising milik daddy- tercecer di mana-mana di seantero Indonesia. Bahkan ada empat perusahaannya di Inggris. Mommy adalah orang Indo asli dari Jakarta. Sedangkan daddy dari Inggris.
Siang itu, aku pulang dari kampus. Sudah hampir dua tahun ini aku belajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis program Internasional Universitas Gajah Mada. Tapi, aku masih di semester dua. Lagi-lagi dosen mengancamku. Aku mungkin harus mengulang semester dua ini lagi, karena batas absenku sudah habis.
Aku mungkin terlihat seperti orang yang pemalas. Suka menghambur-hamburkan uang, dan yah…terkesan seperti suka foya-foya. Tapi itu salah. Sama sekali tidak benar. Selama kuliah di UGM, aku kost di kawasan Pogung Yogyakarta.
Bila aku sering membolos kuliah, bukan berarti aku anak pemalas. Aku tak pernah menginginkan kuliah di bidang manajemen atau akuntansi atau apapun yang berbau tentang ini. Itu semua keinginan orang tuaku, terutama daddy. Daddy berharap aku bisa menjadi penerus pengelola perusahaannya yang tercecer di mana-mana. Tapi aku punya mimpi yang lain.
Aku selalu menolak dan membantah daddy bila dalam telepon membicarakan; ‘kamu besok harus menjadi direktur perusahaan daddy’, atau ‘kamu besok harus bisa memajukan perusahaan daddy’ atau ya … semua yang berhubungan tentang perusahaan. Hingga suatu hari di sore yang mendung, daddy dan mommy datang dari Jakarta menghampiri ke kos ku. Saat itu aku sedang sibuk di depan layar laptop.
Hello Mickey, kamu sedang apa? Mengerjakan tugas kuliah kamu?” sapa daddy.
No, Dad. Aku sedang, em ya main-main games aja,” jawabku agak ragu. Langsung kututup program office word yang sedang terbuka. Lalu memulai pembicaraan lagi ,“Kenapa tidak menelpon dulu kalau mau ke sini? Hmm, you want something to drink?”
“Oh no. Well, begini Mickey. Dad dan mom ingin bicara serius dengan kamu. Ini tentang perusahaan kita Mickey. Kamu harus segera menyelesaikan kuliah kamu. Come on, son. Ini sudah hampir tahun ketiga kamu masih di semester dua. Kamu seh …”
What?” aku menyela daddy. “Perusahaan? Again? No no no no no no, Dad. Jawaban Mike tetap sama. Mike tetap nggak mau ikut campur urusan perusahaan. Mike nggak mau! Kenapa harus selalu Mike yang dipaksa? Kenapa dad nggak Kak Angie aja sih dad, mom? Dia lebih tahu masalah tentang perusahaan.” Kak Angie adalah kakak perempuanku. Angelina, yang sama cantiknya dengan mommy. Dia selalu ingin ikut terlibat dalam urusan perusahaan. Tapi dad dan mom selalu menolak.
No, of course not. Dia ini seorang wanita. Bahkan mommy tak pernah mau ikut campur di perusahaan. It’s ashame! Itu memalukan kalau kakak kamu sampai ikut bekerja di perusahaan. Dia seharusnya hanya di rumah atau ke salon manicure pedicure.” Mommy mengelak pendapatku.
“Itu terserah pada kalian mom, dad. Tapi jawabanku tetap sama. Asal kalian tahu, Kak Angie bahkan lebih hebat dibanding aku dalam mencari peluang bisnis. Bukankah kalian pernah melihat dia melakukan hal baik untuk perusahaan? Dia pernah memenangkan tender ke Luar Negeri.”
No, Mike. Kamu ini masih anak-anak. Kamu masih labil. Daddy tahu, kamu besok masih bisa berubah pikiran. Lagipula, kamu ini mau jadi apa nantinya? Daddy sudah memberi kemudahan untuk masa depan kamu.
 “Aku punya mimpi. Mimpi yang lebih indah dibanding berlian semahal apapun di dunia ini. Yang jauh lebih berharga untukku dibanding segala harta kekayaan yang kumiliki. Dan beginilah caraku menggapai mimpiku” Jawabku.
Pembicaraanku dengan mereka masih sama seperti sebelum-sebelumnya. Dad dan Mom menunjukkan wajah kecewa. Mereka ingin terus membujukku, tetapi malam itu juga mereka harus pulang, karena Dad harus menyelesaikan urusan bisnisnya.
***
Selang dua hari, mereka kembali ke kosku. Tapi tidak dengan tangan hampa. Mereka menaiki mobil sedan Camry 3.5 Q warna silver, seri tercanggih berplat putih. Ya, mobil baru.
Mickey, ini Dad belikan mobil baru untuk kamu. Kamu pasti suka. Ini terlihat elegan sekali bila kamu yang menaikinya.” Kata Dad sambil menyodorkan kunci padaku.
Yes, Mickey. Ini mom yang memilihkan untuk kamu. Kamu pasti suka. Mom tahu kamu butuh mobil kan, ya di sini kamu kemana-mana harus naik motor, pasti kepanasan kan?”
What?” aku kaget dengan jalan pikiran mereka. Mobil itu terlihat mewah sekali. Mengkilau terkena cahaya. Daddy tersenyum padaku. Lalu berkata, “Bagaimana Mickey. Kamu suka kan? Ini pasti akan cocok sekali untuk kamu. Terutama ketika kamu pergi ke kantor dengan mobil ini, pasti terlihat sangat elegan.”
Aku yang tadinya sedang mengamati body mobil Camry terbaru ini tiba-tiba diam. Sekarang aku tahu maksud mereka.
“Aku tahu arah pembicaraan daddy dan mommy. Aku tahu kalian ingin menyogokku dengan cara seperti ini. Tapi jawaban Mike tetap sama. Aku tidak akan mau menjadi direktur perusahaan sampai kapanpun! Sorry mom, dad. Aku benar-benar tak bisa.” Aku kembali ke dalam kost-nya. Teman satu kosku bergerombol melihat mereka dari balik jendela. Mereka terfokus pada mobil Camry silver yang diparkir di halaman.
Dad masih berusaha membujukku. Mereka kembali ke kosku. Pergi pulang Jakarta – Jogja. Tapi jawabanku tetap sama. Dalam waktu satu bulan, mereka lima kali ke kost selalu membawa barang-barang mewah. Bahkan aku juga dibelikan rumah baru. Tapi tetap saja jawabannya hanya “tidak”.
Aku sudah tidak tahan dengan semua ini. Mereka terlalu memaksakan kehendaknya padaku. Cukup! Aku tak mau mimpiku hilang begitu saja. Hingga akhirnya aku bertekad pergi dari kosku. Sebelumnya aku menuliskan surat untuk orang tuaku.
Hello Daddy Mommy, maafkan Mickey yang harus pergi dengan cara seperti ini. Mungkin di fikiran kalian, Mickey adalah anak yang durhaka. Tak mau mendengarkan nasihat kalian. Sorry Dad, Mom. Aku benar-benar minta maaf. Tapi ini jalan satu-satunya. Agar kalian tidak memaksakan aku. Kalian juga harus memikirkan Kak Angie.
Aku mohon Daddy, luangkan waktumu sedikit untuknya. Aku ingin kalian tidak mengekang dia lagi, dia benar-benar berminat pada menjadi penerusmu Daddy. Aku yakin, perusahaan Daddy pasti akan lebih sukses. Please Dad, beri dia kesempatan.
Well, aku juga punya mimpi yang sangat berharga untukku. Mimpiku sederhana, sangat sederhana. Tapi menurutku, ini sangat mulia. Aku berani bertanggun jawab atas semua kelakuanku Mom, Dad. Aku akan kembali. Pada waktunya nanti. Jadi kalian tak perlu mencari. Aku pasti pulang. Katakan pada Kak Angie untuk tidak mengkhawatirkanku.
Well Daddy, Mommy. Kau ingin tahu apa mimpiku? You’ll know …
(Your Mickey)
***
Tujuh tahun berlalu. Di sebuah rumah mewah di Jakarta dengan dinding dari keramik dan halamannya dari batu marmer, ada seorang Pak Pos yang mengantarkan sebuah bingkisan. Aku memperhatikan dari kejauhan. Sebuah kardus berukuran sedang yang dibungkus rapi dengan kertas cokelat. Ukurannya hampir sama dengan ukuran kertas folio, hanya lebih lebar sedikit.
Seorang wanita yang sudah cukup dewasa keluar dengan serbet di pundaknya. Dia menerima bingkisan tersebut. Lalu lari masuk ke dalam rumah.
Aku hendak masuk ke dalam rumah. Satpam rumah itu tahu siapa aku. Tapi aku member isyarat padanya untuk diam. Langkahku terhenti di depan pintu, aku mengintip daddy mengambil tumpukan terakhir isi bingkisan itu dari jendela depan, dad agak gemetar memegang buku ini. Dad membacanya agak keras, mungkin agar mom bisa mendengarnya. Ku dengar dia berkata, “Story of My Beloved Family, Cerita dari Keluargaku Tercinta oleh Michael Dacey Brandon.” Kulihat Dad membuka lembar demi lembar buku ini. Ia berhenti pada satu halaman di depan, dan membacanya“Untuk Daddy, yang selalu memberiku inspirasi dari setiap kata-katanya, dari setiap perlakuannya padaku, dan dari setiap segala yang diberikan padaku. Untuk Mommy, yang selalu memotivasiku dari setiap senyumannya, dari setiap tetesan air matanya, dan dari setiap pelukan hangatnya kepadaku. Untuk Kak Angie, yang selalu ada untuk membangunkanku ketika aku terjatuh, ketika aku terlelap, dan ketika aku putus asa.”
Daddy terharu melihat ini. Aku masuk perlahan ke rumahku dulu. Mereka memandangiku. Aku berjalan perlahan mendekati mereka. Tapi langkahku terhenti. Aku membalikkan badan. Kak Angie yang baru pulang dari kantor kini ada di depanku dengan wajah cantiknya. Kami saling menatap.
Ku balikkan badan lagi. Kini aku melihat ke arah mom dan dad, lalu tersenyum pada mereka. Kami hanya tertawa lepas setelahnya.

(04082012)


No comments:

Post a Comment